Kamis, 15 Maret 2018 12:46

“Kita pernah mendengar ungkapan Jawa: Jaran Kepang Jaran Kore, Wong Lanang Menangan Dhewe (laki-laki maunya menang sendiri, red.) Itu bagaimana Pak? Apakah prinsip itu bisa memicu KDRT?” tanya moderator kepada Jatmiko diikuti gelak tawa penonton.

Jatmiko, seorang bapak dari Desa Bendung Kecamatan Semin, Gunungkidul, hari itu berkesempatan berbagi cerita dan pengalaman di acara diskusi yang diadakan oleh Rifka Annisa dalam rangkaian event Jagongan Media Rakyat (JMR) di Jogja National Museum, Kamis (8/3). Event Jagongan Media Rakyat ini dikoordinasikan oleh Combine Resource Institution (CRI), dan Rifka Annisa sebagai mitra JMR menghelat diskusi dengan judul “Masyarakat Berdaya, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.”

Bagi Jatmiko, ‘Laki-laki Peduli’ itu identitas baru sekaligus proses yang harus ia jalani. “Itulah kenapa kami menamakan ‘laki-laki peduli’ karena kami merasa yang diluar sana sudah biasa, bahkan mereka tidak peduli. Kami ingin menjadi yang tidak biasa,” kata Jatmiko.

Laki-laki hidup dalam bayang-bayang keistimewaan sekaligus ketakutan yang dibawa budaya patriarki. Budaya patriarki itu tertanam sejak dulu dan diwarisi hingga saat ini. Kita hidup di rentetan budaya yang saat ini pun masih banyak keluarga yang memegang teguh prinsip itu. Jatmiko menceritakan, di masyarakat sekitarnya masih ada yang percaya bahwa laki-laki itu harus kuat, harus dominan, sementara kalau perempuan itu masih dianggap urusannya hanya ‘dapur-sumur-kasur’.

Katanya, perempuan sekolah SD saja cukup, wong nanti urusannya dapur-sumur-kasur. Nek laki-laki tanggung jawabnya besar. Wong lanang (laki-laki,red.) harus bisa menghidupi perempuan, menghidupi anak-anaknya,” jelasnya.

Orang Jawa itu, lanjut Jatmiko, apa-apa selalu disangkutkan dengan namanya. Misalnya sebutan wanita itu artinya ‘wani ditata’. Mau tidak mau, perempuan itu harus mau ditata salah satunya oleh laki-laki. Ia menceritakan, bahkan di keluarganya sampai saat ini masih berpegang teguh dengan hal itu. Mertuanya tidak pernah setuju kalau ia berbagi peran dengan istrinya.

“Saya masak, saya mencuci piring. Mertua saya tidak setuju. Beliau bilang, wong lanang (laki-laki, red) kok mengerjakan pekerjaan perempuan. Itu tidak pantas,” curhatnya.

Ia sering menjelaskan kepada mertuanya bahwa ini bukan sesuatu yang hina seolah-olah kalau laki-laki mencuci piring itu derajatnya dari atas langsung terjun bebas. Bukan seperti itu yang dimaksudkan, tapi kemudian bagaimana antara Jatmiko dan pasangannya bisa saling bertanggung jawab dalam berumah tangga. Ia menambahkan ketika mereka saling berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, imbal baliknya bisa mereka rasakan. “Istri jadi makin sayang dan waktunya jadi lebih banyak untuk saya. Ya semua itu yang bisa kami rasakan,” kata Jatmiko.

Pemicu Kekerasan

Laki-laki peduli tidak melulu soal berbagi pekerjaan, tetapi juga peduli pada hubungan dengan pasangan serta pengasuhan anak. Dua hal tersebut disadari atau tidak seringkali menjadi pemicu munculnya konflik antara suami istri hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

Jatmiko menuturkan, di sekitar tempat tinggalnya kekerasan dalam rumah tangga banyak sekali dilatarbelakangi karena permasalahan ekonomi. Ketika ia bergabung di kelas laki-laki peduli yang diselengarakan oleh Rifka Annisa, ia beserta kelompoknya mendapatkan edukasi seputar komunikasi dengan pasangan, mengelola amarah, pengelolaan ekonomi keluarga dan sebagainya. Namun, dua hal yang menurut Jatmiko sangat berkesan dan ia coba terapkan hingga saat ini yaitu bagaimana kita berkomunikasi dengan pasangan dan mengelola amarah.

Komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan kepada pasangan. Kita sebenarya ingin menyampaikan ini ke pasangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ketidaktahuan dan kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik. Ketika komunikasi sudah bisa dibangun sejak awal, tindakan kekerasan terhadap pasangan seharusnya tidak terjadi.

Kemudian, tentang mengelola amarah. Jatmiko dan kelompoknya sangat menyadari bahwa marah itu manusiawi. Kita bisa mengelola itu. Marah seperti sebuah proses, pasti ada akibat dari suatu sebab. Antara emosi dan tindakan ada beberapa detik untuk memikirkan apa yang dipilih untuk dilakukan.

“Marah itu manusiawi. Misalnya kalau marah matanya merah, tangannya pengen mengepal, dibalik itu kita punya waktu untuk memilih bagaimana melampiaskan marah. Bisa jadi kita memilih melampiaskan ke hal yang negatif misalnya segera memukul anak, nyubit anak, atau memukul pasangan. Tetapi kita sebenarnya punya pilihan bagaimana meluapkan marah,” kata Jatmiko.

Ia menjelaskan ada beberapa pilihan yang bisa diambil ketika marah. Salah satunya dengan cara diam. Menunggu hati dan suasana terkondisikan. Bagi Jatmiko, hal tersebut tidaklah mudah bagi setiap orang. Semuanya butuh proses. Ia pun masih berproses untuk itu.

Tantangan

Semenjak bergabung dalam komunitas laki-laki peduli, Jatmiko selalu ingin membagi ilmu dan pengalamannya kepada orang lain. Tak jarang, ia pun gelisah bilamana mengetahui tetangganya sendiri terlibat konflik hingga terdengar ke lingkungan sekitar.

Dia sempat merasa rikuh awalnya ketika terjadi kemelut di rumah tangga sebelah. Niat hati ingin membantu, namun nanti dikira ikut-ikutan masalah rumah tangga orang. Awalnya ada kekhawatiran kalau dia ikut campur jadinya justru dimusuhi oleh tetangga sendiri. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia pun memberanikan diri untuk mencoba mencegah agar konflik di tetangga tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

“Ketika ada percekcokan di tetangga sebelah, saya datangi. Masuk rumah dan hanya sebatas mengamati saja. Saya berdiri di depan mereka yang sedang cekcok tanpa kata tanpa ekspresi apapun. Ya berdiri saja,” kenang Jatmiko.

Dengan cara seperti itu, Jatmiko beranggapan ia bisa mengantisipasi agar pertengkaran tersebut tidak sampai main tangan atau bahkan melakukan penganiayaan. Kalau pun sampai terjadi kekerasan fisik, Jatmiko sudah tahu langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. “Mereka (yang saat itu sedang berkonflik) akan berpikir. Oh iya ya, kemarin habis sosialisasi kalau melakukan kekerasan ada payung hukumnya. Kalau ini dilaporkan ada jalurnya, ada saksinya pula. Dengan begitu kan mereka akan berpikir ulang kalau ingin memukul istrinya saat itu,” tambah Jatmiko.

Selanjutnya, Jatmiko tak lupa mengingatkan agar cara tersebut juga diikuti dengan klarifikasi kepada pasangan yang bersangkutan. Kita perlu menjelaskan maksud kita kenapa kita datang saat tetangga sedang bertengkar, bukan bermaksud menonton tetapi untuk mencegah. Menurut Jatmiko, klarifikasi dan penjelasan ini penting agar yang bersangkutan tidak memusuhi kita.

“Kita jelaskan perlahan-lahan meskipun kemudian kita kena semprot. Dibilang, kamu kok kurang kerjaan, kayak orang paling benar sendiri mengurusi rumah tangga orang. Ya tidak apa-apa. Tapi kita punya satu keyakinan bahwa suatu saat mereka akan berterima kasih ke kita,” tegas Jatmiko.

Tidak Takut Berubah

Untuk menjadi laki-laki peduli, Jatmiko terus berproses untuk perubahan yang lebih baik. Hidup di desa menjadikannya tidak bisa meninggalkan tingginya rasa sosial. Laki-laki peduli tidak hanya peduli pada keluarganya tetapi juga peduli masyarakat sekitarnya. Kalau ada apa-apa di desanya, banyak orang segera ingin tahu. Keingintahuan ini dimanfaatkan Jatmiko untuk mengajak komunitasnya berbicara mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Saat ini, Jatmiko dan komunitasnya menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Lebih banyak tokoh agama terlibat lebih baik, katanya. Karena ketika tokoh agama mau melakukan perubahan perilaku misalnya memberikan contoh pola pengasuhan dan berbagi peran dalam rumah tangga, itu bisa menjadi bukti nyata.

“Saya selalu bilang ke mereka, Pak Ustadz aja mau mencuci, momong anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masa’ kok kita enggak?” begitu salah satu cara Jatmiko mempengaruhi teman-temannya. Upayanya ini juga didukung oleh seorang takmir mushola yang disegani di desanya untuk menyampaikan ke masyarakat luas tentang hal itu.

Cara yang lain adalah Jatmiko tak segan-segan mengajak teman-temannya untuk nongkrong, ngobrol atau ngopi sambil berdiskusi di warung kecil miliknya. Dalam proses pendekatan ini, ia tidak langsung masuk ke permasalahan karena sudah pasti sangat sensitif. Mulanya ia membangun suasana terlebih dulu agar mereka merasa nyaman sehingga kalau bercerita tanpa ada hambatan. Kalau sudah masuk ke inti masalah langsung diajaknya berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak pernah melakukan dengan cara menggurui.

“Saya biasanya berbagi pengalaman yang kira-kira hampir sama dengan masalah tersebut. Itu saya kira lebih efektif. Caranya kita sentuh hatinya dulu. Setelah mereka mengamini hal-hal yang dianggapnya bermanfaat bagi dia dan keluarganya, mereka kemudian menjadi kepanjangan tangan untuk menyampaikan ke keluarganya, ke saudaranya, dan teman yang lebih luas. Kita jadi mudah dan terbantu dalam menyampaikan hal ini.”

Terkait dengan pola asuh anak, Jatmiko membuat kesepakatan dengan istri, bahwa pekerjaan di dalam rumah dan pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama. Memang susah awalnya, tapi kemudian yang pasti ia selalu menyisihkan waktu efektif buat anak. Sekarang waktu pertama untuk keluarga, ketika pekerjaan rumah sudah beres barulah ia keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dia mengakui memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tidak bisa ia lakukan, misalnya menyetrika. Konsekuensinya ia harus selalu membayar jasa orang untuk menyetrika.

“Setara itu tidak harus semuanya bisa kita lakukan tapi sesuai dengan proporsi dan kemampuan kita. Kalau kita gak bisa ya ndak usah malu, bilang saja tidak bisa. Jadi memang kalau tidak bisa ya harus diambil alih pasangan saya,” pungkasnya.

Jumat, 10 November 2017 13:56

Komunitas Setia Mitra mengadakan diskusi dengan tema ‘Media Sosial dan Kids Jaman Now’ di Desa Wareng pada Minggu (29/10). Kegiatan ini diikuti oleh 15 remaja putra dan putri yang berasal dari berbagai dusun. Diskusi yang bertempat di rumah warga ini dimulai dengan nonton video bersama tentang dampak yang ditimbulkan oleh media sosial bagi remaja. “Kami sadar bahwa sosial media memberikan pengaruh yang besar bagi remaja, oleh karena itu kami memilih tema ini untuk didiskusikan”, kata Lusi, salah satu pemateri.

Selanjutnya, peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan menjawab beberapa pertanyaan yang telah disiapkan. Kelompok diberikan waktu 15 menit untuk menjawab semua soal kemudian mempresentasikan jawabannya. Berdasarkan hasil diskusi, terlihat bahwa peserta memahami dampak positif dan negatif yang dibawa media sosial bagi kehidupan mereka. Dampak positif yang dibawa antara lain, kecepatan penyampaian informasi, memperluas pergaulan, tempat promosi dan sebagai media untuk berbagi.  

Di samping itu, media sosial juga memberikan dampak negatif, yaitu kecanduan, menjadi anti sosial, cybercrime, pornografi dan membuat lupa waktu. Melihat dampak positif dan negatif yang ada dalam media sosial, maka remaja diharapkan untuk bijak dalam mengakses media sosial. Para remaja berharap kegiatan diskusi seperti ini semakin banyak dilakukan dengan menganggkat isu – isu yang dekat dengan kehidupan mereka. Beberapa diantaranya memberi masukan untuk sosialisasi selanjutnya mengangkat tema kenakalan remaja. “Saya senang dengan adanya kegiatan seperti ini dan berharap ke depannya masih ada diskusi dalam skala yang lebih besar”, ucap salah satu peserta diskusi. Selain anggota Setia Mitra, turut hadir pula beberapa relawan dari Rifka Annisa. []

 

*) Cornelia C Doa adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada dan volunteer di Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa.

Rabu, 06 September 2017 13:08

Yogyakarta- Salah satu permasalahan yang juga sedang menjadi sorotan adalah masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Remaja yang masih dikategorikan sebagai anak, rentan menjadi korban kekerasan, karena posisinya yang dianggap lebih rendah di masyarakat. Selain itu, masa remaja merupakan masa perkembangan secara fisik dan psikologis, kadang belum begitu mengenal diri dan lingkungannya, sehingga mengakibatkan remaja rentan menjadi korban kekerasan, dan sekaligus rentan menjadi pelaku kekerasan.

Melihat potensi dan kerentanan pada remaja, tentu dibutuhkan kepedulian dari berbagai pihak agar remaja berdaya dalam menangkal pengaruh negatif. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran remaja akan pencegahan dan penanganan kekerasan. Kesadaran tersebut selanjutnya juga perlu dibarengi dengan meningkatkan jiwa kepemimpinan mereka agar konsep diri semakin kuat, memilki kepedulian, serta berani beraksi mencegah permasalahan yang menimpa remaja. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, Rifka Annisa bekerjasama dengan Balai Pendidikan Menengah Kabupaten Gunungkidul untuk mengadakan pelatihan ‘Kepemimpinan untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’ pada tanggal 28 s.d 30 Agustus 2017 lalu.

Kegiatan yang bertempat di Wisma Bukit Surya Kaliurang ini melibatkan 32 murid dari 4 Sekolah Menengah Kejuruan, yakni SMK N 1 wonosari, SMK N 1 Gedangsari, SMK N 1 Ngawen, dan SMK N 1 Saptosari. Pelatihan ini bertujuan untuk membentuk perspektif atau cara pandang baru pada remaja atas persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan peserta didik dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini didasari untuk dapat membentuk pendidik sebaya dalam rangka pencegahan kekerasan di sekolah.

Pada sesi pelatihan, peserta dibagi menjadi dua kelas, kelas laki-laki dan kelas perempuan. Setelah memasuki kelas, fasilitator mengajak peserta untuk memikirkan harapan terhadap pelatihan ini, serta membuat kontrak belajar bersama. Sesi berikutnya, baik di kelas laki-laki maupun perempuan, diajak untuk berdiskusi melalui permainan, tentang bagaimana mereka dibesarkan menjadi perempuan atau laki-laki. Setelah itu peserta diajak untuk memahami akar penyebab kekerasan dengan membuat pohon kekerasan. Selain itu mereka juga diajak menggali peristiwa kekerasan akibat konstruksi budaya yang ada di sekitarnya. Acara berikutnya, peserta diajak berdiskusi melalui film yang diputar. Kemudian, pada akhir sesi, peserta menjadi lebih terbuka dalam berbicara terkait kekerasan, dan menimbulkan rasa empati satu sama lain. Dalam sesi rencana tindak lanjut, beberapa peserta training berinisiatif untuk melakukan sosialisasi pada teman-teman di dalam organisasinya. []

Kamis, 05 Oktober 2017 15:51

Yogyakarta - Berbicara mengenai perdamaian, sebagian orang biasanya mengaitkan dengan sebuah situasi dimana tidak ada perang atau tidak ada konflik. Namun, perdamaian ternyata bisa dimaknai secara berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing. Pemaknaan ulang akan perdamaian ini salah satunya disampaikan oleh Rannisakustik dalam Dialog Khusus program kerjasama Rifka Annisa dan ADI TV yang bertema “Musik untuk Promosi Perdamaian dan Anti Kekerasan”, Selasa (19/9).

Dialog ini menghadirkan dua narasumber dari Rannisakustik, sebuah komunitas seni yang aktif menyerukan kampanye anti kekerasan, yaitu Ramses dan Ahmad Jalidu. Menurut Ramses, perdamaian adalah menahan diri. “Perdamaian tidak mungkin ada kalau tidak ada keadilan. Keadilan bisa dirusak dengan berbagai alasan yang dibenarkan dengan berbagai macam cara,” imbuhnya.

Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai seniman tersebut, keadilan sendiri bukan sesuatu yang jadi tapi proses yang harus dipelajari. Ia mencoba melihat perdamaian dari hal yang kecil, dari konteks manusiawi misalnya ketika kita belajar dari keakraban hubungan bermasyarakat, dengan keluarga atau tetangga. Untuk melihat perdamaian tidak harus dari sesuatu yang besar tapi dari komunitas kecil. Sebab, menurut ia, perdamaian yang besar akan tercipta dari hal-hal yang kecil.

Menyinggung tentang keterlibatannya dalam promosi perdamaian ini, Ramses mengatakan bahwa Rannisakutik mengajak para musisi dan seniman untuk berkolaborasi dengan aktivis anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Selama ini kan persoalan perempuan dan anak selalu dikumandangkan dengan cara yang formal, dengan jargon yang terkadang malah diplesetkan dan ditertawakan. Kita tidak menggurui tapi mengajak orang untuk melihat persoalan keseharian,” kata Ramses.

Setiap orang pernah terlibat kekerasan sebagai korban, pelaku atau saksi. Artinya di sekitar kita banyak sekali masalah. Rannisakustik mencoba memperluas jaringan dengan menggandeng seniman-seniman kampung. Pendekatan tersebut berbeda dengan grup musik kebanyakan. Mereka tidak masuk ke media-media besar, tapi justru membuat workshop di kampung-kampung bersama remaja untuk bercerita tentang kekerasan.

Ketika ditanya alasan kenapa memilih strategi seperti itu, Ramses menjelaskan bahwa yang mereka sentuh adalah persoalan yang menyangkut individu, tentang hal pribadinya bukan gagasan yang begitu besar. “Kalau kampanye pelestarian orang hutan, kita menunjuk jauh seolah-olah kita tidak punya persoalan tentang itu. Kalau soal kekerasan siapa sih yang tidak pernah menyakiti orang lain,” jelasnya.

Bekerja Lewat Seni

Rannisakustik sangat jeli melihat peluang seni untuk media promosi. Bagi mereka, seni bekerja secara santun dan menyenangkan. Sebagian besar masyarakat menyukai seni dan mendekati seni dengan perasaan senang dan terhibur. Seni menjadi semacam tirai untuk mempengaruhi dan meningkatkan kesadaran tidak hanya orang lain tapi juga kesadaran diri sendiri.

Meski demikian, ada tantangan tersendiri bagi pemusik untuk teribat dalam kampanye ini. Ada orang yang terkadang menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang justru mengarah pada kekerasan, penahlukan, dominasi, dan sebagainya. “Mungkin motif dia belajar seni untuk menahlukan perempuan, itu jadi modus. Ini tantangan besar, menjadi seniman sendiri bukan persoalan mudah. Dalam seni bisa jadi kita juga mengalami persoalan kekerasan,” jelas Ramses.

Ahmad Jalidu yang juga aktif di seni teater, menyoroti persoalan perdamaian berdasarakan pengalamannya. Menurut dia, perdamaian adalah ada perbedaan tetapi tidak ada konflik. Selama ini dia mengamati sangat sulit untuk memastikan bahwa ada perbedaan tapi tidak ada konflik. Terlebih tentang bagaimana mengelola konflik dan mencegah peristiwa kekerasan dalam bentuk fisik.

“Meskipun tidak secara lugas mengatakan jangan ini jangan itu, tapi kita menggambarkan bahwa ini peristiwa yang seharusnya tidak terjadi sehingga kita bisa mencegah dengan cara masing-masing,” ungkap Jali, sapaan akrab Ahmad Jalidu.

Jali mengatakan bahwa refleksi atas pengalaman pribadi menjadi penting. Komunitas mereka mengutamakan membuat lagu dari pengalaman pribadi. Meskipun ada peserta yang mengatakan bahwa ia beruntung karena hidupnya tidak pernah mengalami konflik atau kekerasan, namun ia juga harus menengok kanan kiri. Semua lagu yang dihasilkan Rannisakustik adalah berasal dari peristiwa nyata.

Jali memberikan contoh salah satu lagu yang inspirasinya dari perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), kemudian memutuskan untuk membesarkan anaknya sendiri dan tidak menikah dengan pelaku. Mungkin di masyarakat hal seperti itu dianggap kasihan. Padahal kalau menikah, si perempuan belum tentu bahagia karena dia menikah dengan pelaku kekerasan.

Menurut Ramses, mereka banyak dibantu teman-teman aktivis untuk masuk ke masyarakat. Dengan membawakan tema-tema yang akrab dengan keseharian, mereka mengajak masyarakat untuk bicara tentang diri sendiri. Selain itu, mereka juga mengadakan tour ke sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) dan sekolah menengah (SMP dan SMA). Mereka juga menghelat kampanye di kampus-kampus misalnya dalam bentuk diskusi musikal.

“Kita pilih tema yang cocok dengan mereka misal kekerasan dalam pacaran, relasi sehat, dan lain-lain. Yang dikampanyekan adalah nilai-nilai universal tentang perdamaian dan berbagi. Selain itu bergaul sehat, dan mencegah kekerasan seksual. Dan bagaimana menanggulangi ancaman kekerasan seksual,” imbuh Ramses.

Setiap anggota Rannisakustik menulis lirik lagu. Ini adalah sebuah statement atau pernyataan sikap atas isu tertentu. Lalu mereka berbagi pengalaman masing-masing. Seperti satu hal yang diceritakan oleh Jali tentang mengapa kekerasan itu sering dilakukan oleh laki-laki?

Menurut dia, laki-laki itu banyak tekanan, baik dari budaya maupun dari pemahaman agama. Laki-laki itu kepala rumah tangga, harus mencari nafkah, dan harus kuat. Kalau ada genteng bocor ya laki-laki harus bisa memperbaiki. Motor rusak juga. Setiap laki-laki dituntut jadi Superman. Laki-laki dituntut harus menjadi kuat, sehingga ia berusaha menunjukkan itu.

Menanggapi tentang perempuan yang sering dikambinghitamkan dalam kasus perkosaan lantaran dianggap memakai pakaian seksi, Ramses menanggapi bahwa masyarakat kita masih sering melemparkan kesalahan pada pihak korban. Menyalahkan korban (victim blaming) masih kerap dilakukan sebagai pembenaran atas pelaku kekerasan.

“Bahkan kambing pun bisa jadi korban kekerasan seksual. Jadi ini bukan soal pakaian. Sehingga persepsi semacam itu dibentuk,” jelas Ramses.

Membangun Budaya Anti Kekerasan

Kekerasan terjadi di segala tingkat masyarakat, bisa terjadi pada siapapun dan kapan pun. Rannisakustik belajar dari Rifka Annisa bahwa kasus kekerasan dari dulu sampai sekarang sama banyaknya. Bedanya, sekarang lebih banyak yang berani melawan dan melaporkan. Bukan hanya di kota besar, tapi juga di pelosok.

Berbicara lebih luas tentang tantangan perdamaian di negeri ini, Ramses melihat euforia demokrasi di sisi lain dikutuk, tapi di sisi lain juga dirayakan. Sebagai contoh tentang kebebasan di media sosial. Banyak praktik yang justru memperkeruh perdamaian. Provokasi kekerasan, ancaman dan tindakan perundungan sarat dilakukan melalui media ini.

Selain itu, yang  tidak boleh dilupakan juga dalam bencana alam dan konflik sosial misalnya, pihak yang paling banyak dirugikan adalah perempuan dan anak. Ketika perempuan dan anak mendapat ancaman sosial, seringkali kita sebagai individu abai apalagi negara.

Jali menambahkan bahwa seringkali ketika yang dikampanyekan perdamaian, tidak ada yang menolak. Tapi kalau tentang kekerasan terhadap perempuan, itu menjadi sangat sulit. Banyak sekali orang yang tidak setuju. “Kami mengajak masyarakat memahami bahwa kekerasan tidak kita inginkan terjadi pada diri kita dan orang terdekat kita. Kita bisa cegah dengan cara masing-masing,” kata Jali.

Dalam membuat lagu bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rannisakustik tidak menentukan target tertentu seperti penjualan dan sebagainya. Bagi Ramses yang penting lagu-lagu tersebut bisa tersebar dan dinyanyikan oleh banyak orang. Mereka membuat lagu, mengunggah di blog, You Tube, dan media sosial lain. Lagu-lagu Rannisakustik bebas diunduh, diganti atau disesuaikan liriknya dengan pengalaman masing-masing, diubah bahkan dibajak. Mereka ingin lagu tersebut dimainkan dimanapun, oleh siapapun dan bisa disebarluaskan.

“Saya sih pengennya lagu-lagu Rannisakustik bisa dinyanyikan di bus-bus kota oleh pengamen,” pungkasnya.

46506977
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1193
15344
15344
343878
46506977