Di Indonesia, kasus kekerasan seksual semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan dari tahun 2017-2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.940 yang artinya terdapat 16 perempuan mengalami kekerasan seksual setiap harinya.
Kekerasan seksual terjadi baik di ranah domestik maupun publik, tak terkecuali di institusi pendidikan. Tentu kita masih ingat dengan kasus Agni, seorang mahasiswa UGM yang dilecehkan ketika melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2017. Maret 2020 lalu kasus kekerasan seksual juga kembali mencuat ke publik yang dilakukan oleh IM, salah satu alumni berprestasi UII di Yogyakarta. Dan di awal bulan Juli 2020, kasus kekerasan kembali terdengar dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Nusa Tenggara Barat yang melibatkan seorang dosen dan mahasiswanya.
Pada kasus Agni, kasus kekerasan seksual berakhir “damai” antara korban dan pelaku. Sedangkan pada kasus IM, pelaku dicabut gelarnya sebagai mahasiswa berprestasi. Tidak jauh berbeda dengan kasus IM, di Unram kasus pelecehan yang melibatkan dosen sebagai pelaku hanya mendapat skors selama lima tahun, sedangkan korbannya hanya mendapatkan pendampingan psikologis.
Tentu saja kita mengecam perlakuan tidak manusiawi dari sesama mahasiswa maupun dosen tersebut. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat dimana nilai-nilai kemanusiaan tersebut direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat perempuan sebagai sesama manusia.
Sampai hari ini, belum ada data konkret mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Data yang berhasil dihimpun dari kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, Vice, dan Jakarta Post menunjukkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan, mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunung es yang jauh lebih banyak yang tidak tampak dari apa yang dilihat. Data tersebut menunjukkan 1 dari 2 korban mengalami kekerasaan seksual lebih dari satu kali.
Dari 174 kasus tersebut, hanya terdapat 29 korban yang berani melaporkan kasusnya ke pihak kampus. Hal ini berarti masih banyak korban yang kemudian memilih untuk diam dan tidak berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya baik kepada pihak kampus maupun pihak kepolisian.
Keputusan korban untuk diam dan tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian dapat kita maklumi, mengingat proses hukum di Indonesia masih belum berpihak pada korban. Tuntutan untuk menghadirkan alat bukti tentu saja akan memberatkan korban, mengingat kasus kekerasan seksual seringkali tidak ada bukti secara fisik. Risiko jika melaporkan kasus pun sangat tinggi, identitas korban akan diketahui oleh publik dan sanksi atau hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak sebanding dengan beban sosial yang akan ditanggung oleh korban kekerasan seksual apabila identitasnya sampai terungkap.
Sayangnya, kasus kekerasan seksual di Indonesia secara umum masih dianggap hanya sebatas tindakan asusila, bukan tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Bagaimanapun bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, tetap saja menimbulkan dampak traumatis. Penelitian yang dilakukan oleh Scott (2017) menunjukkan secara psikologis korban kekerasan seksual dapat mengalami kecemasan, depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), ketakutan hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri. Secara sosial korban kekerasan seksual juga berisiko mendapatkan stigma negatif dan victim blaming dari masyarakat.
Di masyarakat kita, kekerasan seksual dianggap wajar. Ketimpangan gender serta relasi kuasa menjadi salah dua faktor yang melanggengkan terjadinya kekerasan seksual di kampus. Korban kekerasan seksual merasa terpaksa, tidak berani menolak atau hanya diam ketika mengalami pelecehan seksual lantaran pelaku biasanya adalah seseorang yang memiliki kedudukan dan kuasa di kampus, entah itu sebagai seorang dosen, staf ataupun anggota organisasi tertentu di kampus.
Korban kekerasan seksual di kampus merasa takut, lantaran statusnya sebagai seorang mahasiswa yang tentu saja akan masih berhubungan dengan pelaku. Adanya ancaman seperti diskriminasi nilai ataupun kesulitan untuk lulus menjadi salah satu faktor korban tidak berani melaporkan tindakan pelaku. Selain itu, ketakutan akan disalahkan oleh berbagai pihak dan dianggap melebih-lebihkan atau bahkan dianggap “ia yang menggoda” menjadi pertimbangan korban untuk kemudian memilih diam. Padahal jika korban terus diam, pelaku tidak akan menyadari akan kesalahannya dan berpotensi untuk melakukannya kembali pada mahasiswa yang lain.
Kekerasan seksual dapat dialami oleh siapapun dan terjadi dimanapun. Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Jika mendapati seorang teman mengalami hal tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah mendengarkan dan berempati. Hal ini terlihat sepele, namun ini sebagai bentuk dukungan kita terhadap korban yang sedang merasa trauma. Kita dapat mendengarkan dan tidak menghakimi korban. Biarkan korban bercerita dan meluapkan emosinya terlebih dahulu.
Kedua yaitu menanyakan kebutuhan korban dan menyediakan informasi. Setelah korban dirasa cukup tenang, kita dapat menanyakan kebutuhannya, apakah ingin mengakses layanan konseling ataupun melaporkannya kepada pihak kepolisian. Kita sebagai seorang teman dapat membantu korban dalam mengakses apapun kebutuhannya.
Ketiga, bersama dengan komunitas yang bergerak di isu kekerasan, kita dapat mendesak kampus agar membuat regulasi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Di Indonesia, sebagian besar kampus belum memiliki regulasi yang jelas akan penanganan kasus kekerasan seksual. Contohnya saja di UGM, regulasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dibuat setelah kasus Agni mencuat ke publik pada tahun 2017. Lalu, bagaimana dengan kampus lainnya? Apakah harus menunggu kasus kekerasan seksual terjadi baru kemudian merumuskan regulasi pencegahan dan penanganan?
Dengan semakin maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, semoga kesadaran untuk menciptakan ruang aman tanpa kekerasan semakin meningkat di kalangan intelektual kampus. Kasus kekerasan seksual mengancam keamanan perempuan yang ingin menempuh pendidikan tinggi. Jika di ruang intelektual saja perempuan dapat dilecehkan, lalu dimana ruang aman untuk perempuan di bumi Tuhan ini?