Kekerasan seksual dapat terjadi terhadap siapapun, kapanpun dan dimanapun tidak terkecuali di internet. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan dan difasilitasi medium teknologi atau lebih khusus melalui media sosial. Association of Progressive Communication (APC) mendefinisikan KBGO sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang dilakukan dan diperparah sebagian atau seluruhnya dengan teknologi informasi dan komunikasi seperti telepon genggam, internet, platform sosial media, dan email. SAFENet kemudian juga merumuskan KBGO sebagai tindak kekerasan yang berniat untuk melecehkan gender dan seksual yang difasilitasi teknologi.
Di Indonesia sendiri tercatat terdapat 677 kasus KBGO sepanjang 2021 berdasarkan laporan SAFENet. Puncak kasus terjadi pada Agustus 2021 dengan catatan 77 kasus. SAFENet mencatat ada 14 bentuk KBGO yang menimpa korban sepanjang 2021. Bentuk kasus terbanyak adalah NCII (Non-Consensual Intimate Image Abuse) atau penyebaran konten pribadi tanpa konsen yang tercatat sebanyak 508 aduan atau setara dengan 75 persen dari total laporan. Kasus lain yang termasuk lima tertinggi antara lain pelecehan seksual (38 kasus), doxxing (28 kasus), pelanggaran privasi (22 kasus), dan impersonasi (13 kasus).
Dalam Proses penanganan KBGO dihadapan hukum hingga saat ini masih putusan menggunakan UU Informasi Transaski Elektronik (ITE) belum menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam putusan sidang. Namun Komnas Perempuan pada Press Rilis yang dikeluarkan tanggal 10 Maret 2021 tentang Revisi UU ITE Untuk Cegah Kriminalisasi dan Reviktimisasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual menujukan bahwa dalam penegakan hukum kasus KBGO penggunaan UU ITE berpotensi over kriminalisasi terhadap korban KBGO. Berdasarkan pengalaman pendampingan hukum Rifka Annisa dalam mendampingi korban KBGO UU ITE berkemungkinan besar mengkriminalisasi korban KBGO. Namun ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa hakim masih mengggunakan UU ITE dalam putusan kasus KBGO diantaranya :
- Pertama, UU TPKS dalam proses implementasi masih sulit karena dianggap sebagai undang-undang baru sehingga dalam penegakan hukum belum dapat digunakan secara maksimal dan masih terbiasa untuk menggunakan UU ITE.
- Kedua, karena dalam perundang-undangan UU ITE pasal 45 A poin kedua memiliki bunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Sedangkan dalam kasus Penyebaran konten intim tanpa konsen dalam UU TPKS pada pasal 14 berbunyi “Setiap Orang yang tanpa hak:
a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;
b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Sehingga dalam penerapan pasal UU ITE memiliki masa hukuman dan denda yang lebih tinggi jika dibanding UU TPKS, hal inilah yang mempertegas perbedaan kedua paying hukum ini.
Faktor-faktor ini yang menyababkan UU ITE lebih banyak digunakan oleh penegak hukum dalam menyelasaikan kasus KBGO, padahal UU ITE tidaklah ideal apabila diterapkan dalam penyelesaian KBGO karena kedua UU tersebut tidak memiliki perspektif gender yang baik dan tidak memiliki keberpihakan terhadap korban. Selain itu, apabila merujuk pada ketentuan pidana yang lebih umum, penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya terbatas pada tindak pidana pencabulan dan persetubuhan. Lain hal, jika berbicara UU TPKS meskipun hukuman terhadap pelaku hanya 4 tahun penjara dan dengan denda 200.000.000 juta UU TPKS ini menjamin pemenuhan hak korban untuk mendapat konseling, karena selian fokus menghukum pelaku UU TPKS juga mengatur terkait dengan menjamin pemulihan korban kekerasan. UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan. Hal ini tentu diharapkan menjadi angin segar bagi penegakan hukum terhadap segala bentuk kekerasan seksual termasuk KBGO. Situasi penegakan hukum kasus KBGO memang sangat dilematis meski begitu bukan berarti kita tidak memiliki jalan keluar, oleh karena itu penting untuk tetap menimbang-nimbang apa yang paling dibutuhkan apakah hukuman dan denda atau pemenuhan hak korban atau bahkan kedua-duanya.
Meski demikian, implementasi UU TPKS sampai saat ini pun tampak masih setengah hati. Payung hukum UU TPKS ini perlu terus didorong dan masih membutuhkan sosialisasi yang lebih massif terutama kepada aparat penegak hukum untuk memahami konteks terkait kasus Kekerasan Berbasis Gender Online agar penegakan hukum dan hak-hak korban dapat dipenuhi dan dijalankan dengan maksimal. Selain menggunakan pendekatan hukum, konflik terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia juga dapat diminimalisir menggunakan pendekatan integratif, transformatif, dan restoratif sebagai alternatif yang baik untuk mencapai penyelesaian konflik yang berkelanjutan dan inklusif. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya; seluruh masyarakat Indonesia perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dan penolakan terhadap kekerasan berbasis gender, serta mengambil tindakan konkret untuk menangani konflik tersebut. Disamping itu, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum terhadap kekerasan berbasis gender, serta bekerja sama dengan masyarakat sipil dan lembaga internasional untuk mengatasi konflik kekerasan berbasis gender dan memperkuat kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.
Sumber :
Naskah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diakses melalui https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU.-No.-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik-1552380483.pdf , pada 15 Oktober 2023
Naskah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, diakses melalui https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf , pada 15 oktober 2023
Jihan Risya Cahyani Prameswari, dkk., ”Kekerasan Berbasis Gender di Media Sosial”, Jurnal Pattimura Magister Law Review, Vol. 1, No.1, 2021.
Sahat Maruli T.S., & Ira Maulia N, “Kajian Hukum Kekerasan Berbasis Gender Online Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan dalam Perspektif Negara Hukum Pancasila”, Res Nullius Law Jurnal, Vol. 3, No. 2, 2021.