Berbagi Bukan Sepenuhnya Memasrahkan

Written by  Khalida Noor Senin, 27 Juli 2015 14:26

Pembagian tugas antara suami dan istri seringkali diwarnai dengan adanya perasaan amarah, kekesalan, kejengkelan, rasa bersalah, penerimaan, kecemasan, kekecewaan bahkan dukungan. Lina (bukan nama sebenarnya), seorang manager suatu perusahaan. Pekerjaannya seringkali menututnya untuk lembur dan pulang larut malam. Lina pun memutuskan untuk berhenti bekerja ketika anak keduanya lahir. Lina beranggapan bahwa satu anak masih bisa ditanganinya sebagai seorang ibu pekerja, namun dua anak akan terasa sulit manakala ia harus memberikan perhatian penuh pada kedua anaknya. Di lain pihak, Lina juga berpandangan bahwa mengurus rumah tangga adalah tugasnya. Akan tetapi, hal itu merupakan tugas yang tak pernah ada akhirnya, pagi, siang atau malam, hari biasa ataupun akhir pekan. Dia bingung tentang seberapa banyak bantuan yang bisa diminta dari suaminya untuk ikut berbagi tugas, padahal suaminya juga sudah bekerja sepanjang hari.

Kecemasan dan kelelahan Lina dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat kedua anaknya yang masih berusia balita, yakni anak pertama berusia 2 tahun dan anak keduanya berusia 6 bulan, serta kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin meningkat menjadi ajang pertikaian dengan suaminya yang tak kunjung usai serta berdampak pada kekerasan psikis dan fisik yang dialami oleh Lina.

Itulah kisah lina, sepenggal cerita tentang seorang ibu pekerja yang rela meninggalkan pekerjaannya demi anak-anaknya. Kesediaannya untuk dipasrahi tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga dengan melakukan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak telah berdampak buruk bagi kesehatan psikis dan fisiknya. Manakala sang suami tidak peduli seberapa berat stres dan lelah yang dipikul istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Thanthowi, selaku manager divisi pengorganisasian masyarakat dan advokasi di Rifka Annisa mengungkapkan bahwa jika dihitung pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan istri selama 16 jam/hari dan tanpa adanya hari libur akan menimbulkan sakit psikosomatis. Thanthowi mengimbuhkan, “Salah satu hal yang menyebabkan konflik dalam rumah tangga adalah karena pekerjaan rumah tangga hanya dilakukan oleh istri, mulai dari membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak semuanya dikerjakan sendirian tidak bersama-sama. Seringkali pasangannya juga tidak memahami hal ini dan hanya bilang itu tanggungjawab istri”.

Garis pemisah pembagian tugas dan peran antara suami dan istri inilah yang telah memasrahkan tanggung jawabnya dalam membina keluarga. Akan tetapi garis pemisah pembagian tugas ini jugalah yang menimbulkan ketidakadilan gender serta memicu terjadinya konflik keluarga. Sehingga dibutuhkan dukungan antara suami-istri untuk berbagi tugas dalam mengurus rumah tangga serta mengasuh anak. Berbagi tugas ini bukanlah juga sepenuhnya memasrahkan tanggung jawab rumah tangga pada sang suami melainkan mengerjakannya secara bersama-sama atas dasar kemaunnya sendiri. Sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih sehat dan setara. []

Khalida Noor

Relawan Humas dan Media

Rifka Annisa

Read 2470 times
44228681
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1463
64832
8238
284564
44228681