Pandemi Covid-19 di Indonesia menyisakan banyak persoalan, tak terkecuali soal kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan pembatasan sosial selama pandemi membuat kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin mengakar kuat. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75% selama pandemi. Dua pertiga dari 14.719 kasus yang terlapor merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pelakunya adalah orang dekat korban[1].
Peran gender yang kaku pada saat karantina #dirumahaja menambah beban berlipat pada perempuan. Penelitian dari Flinders University di Australia menjelaskan bahwa meningkatnya angka KDRT pada masa pandemi akibat bertambahnya berbagai bentuk kerentanan. Beban domestik yang meningkat selama pandemi menjadi salah satu kerentanan yang nyata bagi perempuan. Di Indonesia, perempuan menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk melakukan tugas rumah tangga atau 4 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki [2] . Ditambah lagi ketika perempuan tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan menjadi target tindak kekerasan.
Situasi yang tidak menentu akibat pandemi pun membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan baik laki-laki maupun perempuan. Ketika dalam rumah tangga, suami yang mengalami PHK, suami, istri, serta anak pun lebih sering berkonflik. Hal ini diakibatkan dari sebagian laki-laki kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrol atas perempuan. Studi Rifka Annisa dalam menjadi laki-laki; pandangan laki-laki Jawa tentang maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa ada dinamika pikir (kognitif) dan rasa (emosi) kaum laki-laki terkait konsep maskulinitas dan kekerasan dalam rumah tangga. Rambu-rambu nilai dan batasan yang disebut “maskulin” membuat laki-laki terdidik untuk memenuhi kriteria, karakter, peran dan fungsi sosial sebagai pemimpin perempuan dan anak-anak, serta menempatkan laki-laki dalam struktur tertinggi pola relasi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Konsekuensi dari struktur budaya membentuk laki-laki sedemikian rupa.
Kasus kekerasan terus berulang
Kemunculan pandemi Covid-19 menjadi ruang gelap perempuan. Kondisi perempuan yang memiliki banyak kerentanan di dalam rumah tangga dan berpotensi sebagai korban kekerasan menjadi tidak terelakkan. Pandemi yang tak kunjung usai dan budaya di Indonesia yang menempatkan laki-laki di struktur tertinggi dalam rumah tangga membuat sebagian perempuan sulit mengambil keputusan. Di satu sisi, ada tantangan tersendiri untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam situasi krisis seperti pandemi. Namun, di sisi lain perempuan juga ingin keluar dari lingkaran kekerasan yang melibatkan dirinya dan pasangan.
Relasi emosi yang terbangun antara suami dan istri dengan berbagai harapan yang dilekatkan masyarakat kepada keduanya membuat hubungan suami dan istri semakin intim. Kontrol suami terhadap istri mungkin dan biasa dilakukan. Secara garis besar, kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga berkaitan dengan hubungan kekuasaan atas satu sama lain[3]. Istri yang ditempatkan pada struktur kedua di dalam rumah tangga dapat diatur dan dikontrol oleh suami. Keputusan untuk keluar dari belenggu kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga pun sulit dipilih oleh perempuan.
Mengacu pada tren kasus yang ditangani di Rifka Annisa, 90% perempuan yang mengalami KDRT memilih solusi untuk kembali ke pasangan. Berbagai tuntutan sosial turut serta mempengaruhi pilihan perempuan korban. Status janda yang akan melekat, keadaan ekonomi yang terkadang belum mapan di korban, takut dosa karena telah bercerai, dan bahkan ketakutan akan ancaman pelaku sering menjadi pertimbangan perempuan korban memilih keputusan.
Berbagai layanan yang dapat diakses perempuan korban kekerasan, seperti konseling hukum dan psikologis tidak sepenuhnya menjamin korban yang kembali pada pasangan terbebas dari kekerasan. Harapan bahwa suatu saat pasangan tidak akan melakukan kekerasan tanpa diimbangi cara pandang yang berubah, hanya akan menjadi bayang-bayang bagi perempuan. Nilai-nilai maskulin yang melekat pada sebagian besar laki-laki membuatnya berpotensi untuk kembali melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Bekerjasama dengan laki-laki melalui konseling
Melihat situasi yang cukup rumit dihadapi perempuan korban KDRT, perlu upaya yang seimbang antara kedua belah pihak. Penempatan konseling bagi perempuan korban KDRT tidak sepenuhnya dapat merubah keadaan di dalam rumah tangga. Laki-laki perlu dilibatkan dalam upaya mengentaskan kekerasan, hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan perempuan korban kembali ke pasangan ketika mengalami KDRT.
Merujuk pada pengalaman Rifka Annisa sebagai Women's Crisis Center, pilihan perempuan korban untuk menjaga keutuhan pernikahan meskipun terjadi kekerasan membuat Rifka Annisa memutuskan menambah layanan konseling bagi laki-laki. Nilai maskulinitas positif berdasarkan nilai kesetaraan dan non-kekerasan diberikan kepada pelaku laki-laki untuk sama-sama belajar bagaimana mengubah perilaku, mengendalikan diri sendiri, dan berkomunikasi secara asertif.
Aditya Putra Kurniawan, konselor laki-laki Rifka Annisa, menuturkan ada berbagai karakter pelaku kekerasan yang ia temui misalnya, kepercayaan yang rendah dialami pelaku, merasa tidak tanggap dalam mencari nafkah sebagai suami atau pernah menjadi korban kekerasan semasa kecil. Perlu banyak pendekatan yang dilakukan oleh konselor laki-laki untuk tahu alasan dan keinginan pelaku. Budaya yang tidak membiasakan laki laki bercerita terkait dirinya, dan kehidupannya menjadi tantangan utama dalam melakukan konseling laki-laki.
Berbagai penolakan diri seringkali ditunjukkan oleh pelaku laki-laki saat konseling. Tidak mengakui kekerasan yang dilakukan dan cenderung menyalahkan orang lain, menganggap remeh tindakan yang dilakukan (minimizing), enggan diajak kerjasama dengan konselor, meremehkan informasi konselor atau hanya diam, tidak terbuka dan menutup diri. Rentetan tantangan yang sering muncul saat konseling laki-laki, mendorong para konselor merumuskan prinsip-prinsip utama layanan konseling bagi pelaku kekerasan seperti; Keselamatan perempuan dan anak menjadi prioritas, Kerahasiaan terbatas, Pelaku kekerasan bertanggung jawab penuh terhadap kekerasan yang dilakukannya, dan Akuntabilitas. Upaya tetap menghargai pelaku sebagai manusia pun dilakukan oleh konselor, sehingga tidak mengabaikan keberanian pelaku untuk melakukan konseling.
Dukungan dan kepercayaan serta menemukan sisi positif klien laki-laki diikuti dorongan agar mampu menyelesaikan masalahnya dengan cara non-kekerasan membuat para klien dapat menemukan sendiri perubahanya. Berdasarkan catatan Rifka Annisa, klien laki-laki yang mengakses layanan konseling di Rifka Annisa telah menunjukkan perubahan sikap yang positif dan pemahaman yang lebih baik terhadap pasangan. Hal ini ditunjukkan melalui pemahaman klien bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap pasangan adalah salah. Selain itu, klien menjadi lebih bisa menghargai pasangannya, menjadi pendengar yang baik, tidak menunjukkan perilaku yang mendominasi, serta lebih memahami dinamika psikologis pasangan. Upaya perubahan lainnya ditunjukkan dengan perbaikan pola komunikasi klien dengan pasangan menjadi lebih asertif, khususnya dalam mengatasi permasalahan di antara mereka.
Sumber:
Hasyim, Nur dkk. 2007. Menjadi Laki-Laki; Pandangan Laki-Laki Jawa tentang Maskulinitas dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Rahayu S. Hidayat (Penerj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona
[1] https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona diakses pada tanggal 25 Agustus 2020 pukul 08:14
[2] https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-eksekutif-summary-kajian-dinamika-perubahan-di-dalam-rumah-tangga-edisi-revisi diakses pada tanggal 26 Agustus pukul 20:57
[3] Foucault, 1997 hal 12-36