Yogyakarta – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur mengunjungi Rifka Annisa, Rabu (12/7). Kunjungan tersebut disambut dan dipandu langsung oleh Manager Divisi Pendampingan, Indiah Wahyu Andari. Kegiatan kunjungan yang berlangsung mulai pukul 10.30 WIB tersebut diawali dengan diskusi dan berbagi pengalaman terkait metode penanganan korban kekerasan yang dilakukan oleh Rifka Annisa maupun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat.

            Esther, salah satu perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat mengatakan memilih Rifka Annisa sebagai rujukan karena menilai Rifka Annisa telah berpengalaman dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan anak sejak tahun 1993. Ia juga mengungkapkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat menangani sekitar 60 kasus per tahun.

            Pertemuan dimulai dengan membahas tentang perbandingan shelter yang dimiliki Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumba Barat dengan shelter yang dimiliki Rifka Annisa. Indiah menjelaskan jika ada klien yang membutuhkan shelter maka ada beberapa peraturan diantaranya korban tidak diizinkan memegang handphone dan uang. Hal tersebut dilakukan agar klien tidak dapat dipengaruhi oleh pelaku dan menjaga kerahasian rumah shelter Rifka Annisa. Tetapi bukan berarti klien tidak boleh menggunakan alat komunikasi. Pihak Rifka hanya mengawasi untuk mengetahui siapa-siapa saja yang dihubungi oleh klien tersebut.

            “Jangka waktu untuk klien sendiri selama di shelter Rifka Annisa maksimal dua minggu. Hal itu disampaikan sejak awal semenjak klien masuk shelter tetapi jika kasus tidak selesai sampai dua minggu tersebut maka pihak Rifka berusaha untuk memahaminya,” tambah Indiah. Selain itu, Indiah juga menegaskan bahwa klien yang berada di shelter Rifka Annisa tetap melakukan kegiatan pemberdayaan seperti membuat keterampilan tangan dengan tujuan sebagai pemberdayaan perempuan.

            Sementara itu, Esther menjelaskan kondisi shelter di Sumba Barat. “Ruangan shelter yang di mililki di Sumba masih sangat terbuka,” kata Esther. 

            Sama halnya dengan peraturan di Rifka Annisa, Esther juga mengungkapkan jangka waktu untuk tinggal di shelter hanya dua minggu dan tentu juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lainnya. Ia juga mengaku tidak hanya berperan sebagai ibu shelter melainkan juga melakukan peranan ganda yaitu sebagai pendamping korban jika dirujuk kepada hukum,.

            Perbedaan yang lain, Rifka Annisa telah bergabung dalam forum diskusi dengan lembaga lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bernama Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA). Sedangkan shelter Sumba Barat sampai saat ini belum mengikuti forum diskusi dengan lembaga-lembaga lain.

            Itu yang menjadi kendala. Kami belum memiliki forum diskusi dan ruang shelter itu memang masih terbuka, tegas Esther. Di akhir pertemuan, Esther mengharapkan supaya adanya bimbingan yang diberikan oleh pihak Rifka dan berharap pihak Rifka itu bisa menjadi wadah diskusi dari shelter Sumba. (Ana Widiawati/Lamtiar Tambunan)

 

*Ana Widiawati dan Lamtiar Tambunan adalah mahasiswa magang di Divisi Humas dan Media Rifka Annisa

 

Oleh: Lutviah (Staf Humas dan Media Rifka Annisa)

 

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah diskusi tentang hukum dan permasalahan perempuan di sebuah universitas. Dari diskusi tersebut, saya mendapatkan informasi dan pemahaman baru tentang isu perempuan dan hukum, khususnya perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan. Namun dalam diskusi tersebut ada satu hal mengejutkan yang saya termui, yaitu ujaran seksisme berupa guyonan yang mengobjektifikasi perempuan oleh salah satu narasumber. Kenapa hal ini mengejutkan bagi saya, tak lain karena ujaran seksis itu diucapkan oleh seorang akademisi, disampaikan di ruang diskusi akademis, dan ujaran seksis tersebut disambut gelak tawa oleh para peserta diskusi. Artinya, ujaran seksis dianggap sesuatu yang wajar bahkan dianggap sebagai bahan candaan.

Mengacu pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary, seksisme didefinisikan sebagai perlakukan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena jenis kelaminnya.Seksisme dapat berupa ucapan atau perilaku yang secara sadar maupun tidak sadar mendiskriminasi perempuan. Ucapan seksis misalnya paling banyak kita temui di jalan berupa cat calling, dimana seorang perempuan digoda di jalan dengan siulan atau perkataan tertentu seperti “hey cantik” atau bahkan mengucapkan “Assalamualaikum” dengan nada menggoda. Sementara itu, bentuk perilaku yang seksis dapat kita temukan pada perlakuan-perlakuan yang mendiskriminasi dan membatasi perempuan. Misalnya perempuan dilarang untuk keluar malam, perempuan diharuskan mengurus pekerjaan rumah tangga, perempuan dilarang bekerja, dan lain-lain. Perlakuan-perlakuan yang seksis ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat umum dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dialami oleh perempuan. Bahkan di level negara, pemerintah juga berlaku seksis dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang tidak ramah perempuan.

Adanya perspektif yang seksis ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Sebelum kesetaraan gender ini terwujud dalam bentuk perilaku dan aturan yang adil gender, baik masyarakat maupun pemerintah harus terlebih dahulu memiliki perspektif gender yang setara dan terbebas dari pandangan-pandangan yang seksis. Meskipun, menghapus pemikiran yang seksis dalam diri masyarakat bukanlah hal yang mudah mengingat sejak lahir kita sudah dibentuk dengan norma dan budaya yang cenderung patriarkis dan merendahkan perempuan.

Tantangan seksisme ini tentunya perlu kita hadapi bersama-sama secara terus menerus, mengingat seksisme ini muncul dalam bentuk-bentuk kecil di kehidupan kita sehari-hari. Cara paling sederhana yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan merespon dengan cepat ketika seksisme itu terjadi, misalnya memberi tahu bahwa ucapan atau perilaku itu tidak pantas untuk dilakukan. Respon sederhana ini meskipun wujudnya kecil tapi sedikit demi sedikit diharapkan dapat membantu merubah perspektif masyarakat menjadi lebih adil gender. Karena dalam banyak kasus, orang-orang yang berperilaku seksis tidak menyadari bahwa hal itu tidak baik dan merugikan perempuan.

Seksisme juga dapat dikatakan sebagai salah satu akar masalah ketidaksetaraan gender karena ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang tidak setara dalam melihat posisi perempuan dan laki-laki. Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk ucapan, perlakuan dan aturan yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Salah satu dampak yang bisa kita lihat adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Survei terbaru yang dilakukan Badan Pusat Statistik tentang pengalaman hidup perempuan menunjukkan satu dari tiga orang perempuan di Indonesia mengalami kekerasan. Kemudian, sepanjang Januari hingga Maret 2017 saja ada 77 kasus kekerasan terhadap perempuan yang di laporkan ke Rifka Annisa. Ini berarti, dampak seksisme berupa kekerasan terhadap perempuan sangat serius dan mengganggu keharmonisan dan keamanan masyarakat.

Karenanya, sudah saatnya masalah seksisme ini kita berikan perhatian yang khusus. Sudah saatnya kita tidak lagi abai ketika menemukan ucapan dan perlakuan yang seksis terjadi di masyarakat. Perspektif gender yang setara harus secara masif disebarkan untuk menghadang seksisme  yang mengakar di masyarakat.

 

Oleh Wakhit Hasim (Anggota perkumpulan Rifka Annisa; Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

 

 

 Laki-laki_sejati_anti_kekerasan.jpg

Kontribusi gerakan perempuan terhadap perubahan tata hukum di Indonesia dapat dikatakan progressif melebihi dari gerakan lain. Sejak munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan nasib perempuan tertindas pada masa Orde Baru tahun 1980-an, hingga munculnya gerakan advokasi kebijakan publik tahun 90an-2000an, gerakan ini menghasilkan sederet undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lain di bawahnya misalnya UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) No. 23 Tahun 2004, UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak), UU PTPPO (Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang) No. 21 Tahun 2007, Kepres RAN-PKTP (Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) Tahun 2001, Peraturan Menteri tentang SOP Layanan Perempuan Korban Kekerasan Tahun 2008, Layanan Satu Atap P2TP2A, pembentukan Komnas Perempuan, bahkan penggantian nama Kementerian Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan masih banyak lagi. Hasilnya, sejak tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan lebih leluasa memperjuangkan keadilan diri dan keluarganya secara hukum, dan kesadaran masyarakat atas adanya KDRT semakin tinggi.

Namun, apakah dengan demikian masyarakat berubah pandangan mengenai gender? Jika ya, apakah pandangan ini mempengaruhi tata kelola sumber daya kehidupan sehari-hari di desa-desa dan di komunitas-komunitas?

Jawabnya, masih sangat sedikit. Kalau tidak bisa dijawab BELUM. Jika diukur dari tahun 80-an kelahiran gerakan feminisme masa Orba sampai sekarang sudah berjalan 18 tahun, jawaban ini mengisyaratkan tentang kemiskinan strategi gerakan feminisme di tingkat komunitas-komunitas karena gerakannnya didominasi oleh wilayah elit.

Mengapa bisa demikian halnya? Ada empat hal yang saya temui di lapangan dalam pengalaman 20 tahun terlibat dalam gerakan ini, yaitu (1) bias aktivisme liberal, (2) kesadaran common sense, (3) tidak berkembangnya analisis sosial gender, dan (4) kurangnya role model untuk gerakan komunitas.

Bias liberalistik dalam aktifisme terlihat pada keyakinan bahwa mengubah masyarakat dilakukan dengan mengubah pandangan individu, baik melalui pelatihan, workshop, kampanye, maupun tekanan kebijakan pemerintah. Individu adalah basis unit strategi, dan masyarakat diandaikan sebagai agregat individu. Hal ini dilakukan di berbagai isu mulai sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan agama. Kajian tafsir gender bagi para aktifisnya telah memuaskan jika memperoleh pendekatan baru tafsir yang kontekstual, dan dengan demikian sudah dianggap maksimal. Pendekatan komunitas yang telah dilakukan beberapa LSM dan Ormas masih tetap berkonsentrasi pada perubahan individu, bukan tata kelola komunitas. Meskipun beberapa telah mengintegrasikan dengan musrenbang untuk mempengaruhi program dan budget, namun hasil nyata dari tata kelola sosial ini masih sangat sedikit dan lemah.

Saya juga memperhatikan mandegnya inovasi strategi pada LSM dan Ormas yang lama bergerak dalam isu feminisme. Dari waktu ke waktu, strategi program dan aktifitas telah seperti mengikuti pola umum yang dianggap paten, mulai dari pelatihan, workshop, kampanye, advokasi. Sejak gerakan ini dilakukan sampai sekarang masih sama, dan tidak bergeser. Pelatihan gender, pelatihan feminisme, pelatihan gender budget, strategi renstra, dll.

Sebagai akibat dari kecenderungan mengikuti common sense ini, analisis sosial gender tidak bergerak maju. Feminisme sebagai suatu wacana terus berdengung dari aliran liberalisme, marxisme, sosialisme, dunia ketiga, interseksionisme, radikalisme, post strukturalisme, dll. Hasilnya adalah serial jurnal yang akademik dan elit. Tidak ada yang menyentuh tanah, sawah, ladang, laut, nelayan, hubungan industrial dalam perburuhan, pola mobilisasi sumberdaya tanah, teknologi alternatif, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Sudah ada, tapi sayup-sayup.

Dan catatan terakhir saya, yang memberi contoh kongkret tentang gerakan yang menyatu dengan masyarakat, berbasis komunitas, pengorganisasian yang tidak programatik saja, tapi juga spasial, baik berbasis desa maupun kawasan, itu belum ada. Sudah ada, tapi masih sangat sedikit dan gaungnya belum ada.

Ini adalah autokritik buat gerakan perempuan, dimana saya juga terlibat di dalamnya. Jika Anda memiliki kesaksian lain untuk pengembangan bersama, silakan.

Cirebon, 17 Maret 2017

Oleh: Claudia Rahmania Yusron, Mahasiswa Magang Universitas Brawijaya Malang, Jurusan Hubungan Internasional 

 

Di tengah-tengah terik matahari di kawasan Rifka Annisa Kompleks Jatimulyo Jambon, Yogyakarta. Seorang pria paruh baya bernama Sabar Riyadi mengenakan kaos abu-abu berkerah hitam, dengan bersahaja menyapa para staf dan manager Rifka Annisa WCC yang hilir mudik di dalam kantor. Ia merupakan pria kelahiran 46 tahun silam dan akrab dipanggil Sabar.

Ayah dari tiga anak laki laki dari pernikahan dengan Retnowati Sri Mulatsih ini telah mengabdi di Rifka Annisa WCC selama 15 tahun. Sebelum berkecimpung di Rifka Annisa WCC, ia sempat bekerja di bidang survei pemetaan di PT. Brantas Abipraya. Namun, pada tahun 2001 terjadi PHK sepihak dan mengharuskannya untuk mencari lowongan pekerjaan baru.

Berawal dari membaca Kedaulatan Rakyat tentang Konsultasi Rifka Annisa, Sabar mengetahui bahwa Rifka Annisa WCC sedang membutuhkan tenaga serabutan sebagai sistem pendukung, seperti merawat motor, menyiapkan motor atau sekarang lebih dikenal sebagai Divisi Internal. Ia tergugah untuk mendaftarkan diri pada posisi tersebut dan mulai bekerja di tahun yang sama.

Menurut Sabar, tugasnya pada saat itu selain di kantor juga berada di lapangan karena Rifka Annisa sedang membangun kantor di Jalan Jambon yang menjadi kantor lembaga tersebut hingga saat ini. “Saya harus bolak-balik lapangan dari kantor Rifka Annisa yang lama yakni di daerah Demangan Baru ke Jalan Jambon, untuk mengamati kondisi bangunan Rifka Annisa yang pada saat itu sudah mencapai 90%,” katanya.

Tahun 2002, semua staf Rifka Annisa pindah ke tempat baru di Jalan Jambon dan setelah itu Rifka Annisa WCC mampu membeli mobil operasional. Sabar menerangkan bahwa sejak itu ia bertugas sebagai supir untuk menjangkau para klien Rifka Annisa WCC yang merasa kesulitan untuk datang ke Jambon. Menginjak tahun 2004-2011 Sabar menghabiskan waktu di lapangan dengan para staf dari Divisi Pendampingan.

Dari situ ia belajar banyak mulai dari pelatihan konseling yang meliputi pengetahuan psikologi, maupun hukum. Hingga pada akhirnya ia mampu untuk melakukan konseling dengan para klien. Namun, karena pada saat itu Rifka Annisa WCC melayani klien perempuan saja, Sabar hanya dapat melakukan pengidentifikasian masalah atau assesment dan tidak dapat melakukan konseling lanjutan dan harus dirujuk ke konselor perempuan karena bisa  melanggar kode etik di Rifka Annisa WCC.

Pada tahun 2007, mulai adanya inisiasi untuk mengadakan konseling bagi laki laki, untuk perubahan laki laki. Namun, waktu itu masih belum ada modul yang dapat menjelaskan panduan untuk melakukan konseling laki-laki. Pada tahun 2011, Sabar mengikuti pelatihan menjadi konselor laki-laki bersama teman-teman lainnya dari berbagai kota di Indonesia, dengan fasilitator yang berasal dari LSM bernama Mozaic dari Afrika Selatan, atas dukungan dari WPF (World Population Fund).

Sejak tahun 2011, modul panduan konseling laki laki diterbitkan. Namun, pada saat itu Sabar menggunakan pendekatan kebutuhan klien, sehingga ia mendahulukan masalah apa yang sedang dialami klien pada saat itu. “Ya kalau  klien butuh cara pengendalian emosi, ya tentu saja itu yang saya dahulukan. Kemudian baru tema-tema yang lain,” kata Sabar.

Hingga saat ini Sabar menjadi konselor laki-laki, namun pada tahun 2011 ia diberi mandat untuk mengelola Guest House yang juga berfungsi sebagai pusat pelatihan. Dia menerangkan bahwa dulunya, ketika isu kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT mencuat dipermukaan sosial, Rifka Annisa WCC menjadi tempat tujuan belajar utama, dan didatangi para aktifis atau peneliti yang ingin belajar bagaimana cara menangani hal tersebut.

Melihat kondisi seperti itu, Rifka Annisa WCC sebagaimana LSM lain yang tergantung pada lembaga donor, ingin mengurangi ketergantungan terhadap lembaga donor, melalui penggalian dana dengan mencoba menjadikan pusat pelatihan tersebut menjadi unit bisnis yang berupa Guest House, yang masih berjalan hingga saat ini.

“Ada beberapa hal yang membuat saya betah mengabdi disini. Saya empati melihat kasus yang menimpa para klien, seperti pemerkosaan, KDRT, pencabulan, dimana yang menjadi pelaku, sebagian besar merupakan orang yang dikenal oleh korban  seperti bapak, paman, atau saudara,” imbuhnya.

Banyak kejadian unik dan menyentuh hatinya selama bekerja di Rifka Annisa, tidak jarang harus berhadapan dengan para pelaku yang sedang mencari tahu tempat perlindungan korban hingga mengintimidasi Rifka Annisa WCC. Namun, Sabar mengaku sudah terbiasa dengan adanya hal tersebut.  

“Momen-momen tersebutlah yang membuat saya tetap berada di Rifka Annisa, meskipun tidak sedikit kawan yang menawari saya kerja di proyek. Namun saya kira tempat saya adalah di Yogyakarta dan membantu orang lain. Inilah tempat seharusnya saya berada. Prinsip hidup saya juga adalah bekerja sambil beribadah dan mencari Ridho-Nya,” terang Sabar.

Prinsip hidup tersebutlah yang membuatnya terus berkarya dan berkontribusi di Rifka Annisa WCC. Pandangan hidupnya adalah ada Tuhan diatas manusia, sehingga apabila ia sering membantu orang lain, ia hanya berharap Tuhan yang akan membalasnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman Sabar terhadap persamaan gender atau jenis kelamin sosial juga membuatnya mengimplementasikan nilai-nilai tersebut kepada ketiga anak laki-lakinya di rumah. Ditambah lagi Sabar juga memiliki latar belakang sembilan bersaudara, tujuh diantaranya laki-laki dan sisanya perempuan. Hal ini membuat Sabar tidak asing dengan pekerjaan domestik rumah tangga. []

 

Selasa, 25 Oktober 2016 14:51

Budaya dan Sunat Perempuan di Indonesia

Oleh: R. Andadari Raya Hanantari

Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation)

Mutilasi alat kelamin wanita atau female genital mutilation merupakan “segala prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau secara keseluruhan alat kelamin bagian luar wanita atau melukai alat kelamin wanita untuk alasan non-medis”[1] Istilah yang familiar yang sering digunakan di Indonesia adalah sunat perempuan. Praktik sunat perempuan merupakan tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap perempuan. Praktik ini telah dilarang oleh berbagai organisasi internasional, Namun  sunat perempuan tetap dilakukan oleh berbagai negara didunia. Sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis atau dukun. Namun karena kedekatannya dengan nilai-nilai agama dan budaya, pada umumnya sunat perempuan dilakukan oleh dukun yang tidak memiliki pendidikan medis. Hal ini menyebabkan alat-alat yang digunakan tidak steril dan seringkali menyebabkan infeksi alat kelamin. Berdasarkan data pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat 200 juta wanita dan perempuan dari 30 negara di dunia yang mengalami mutilasi alat kelamin atau sunat perempuan.[2]

Tabel 1. Persentase Praktik Mutilasi Alat Kelamin atau Sunat Perempuan di Dunia[3]

Negara Persentasi Wanita dan Perempuan yang Mengalami Sunat atau Mutilasi Alat Kelamin
Somalia 98%
Djibouti 93%
Mesir 91%
Sudan 88%
Yaman 23%
Iraq 8%
Republik Afrika Tengah 24%
Ethiopia 74%

Sunat Perempuan menyebabkan kerusakan pada alat kelamin, namun praktiknya terbagi menjadi empat tipe, yaitu:[4]

  • Tipe I: dikenal sebagai Clitoridectomy; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris dan/atau kulitnya
  • Tipe II: dikenal sebagai excision; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris and labia minora, yang terkadang sering disertai dengan pemotongan labia majora
  • Tipe III: dikenal sebagai Infibulation; Praktik ini merupakan tipe sunat yang paling menyebabkan kerusakan pada alat kelamin wanita. Prosedur yang dilakukan antara lain dengan mempersempit vagina dengan memotong, memposisikan, dan menjahit labia minora dan labia majora, Tipe ini sering kali disertai dengan pemotongan klitoris. Sedangkan jahitan pada alat kelamin tersebut hanya bisa dibuka melalui operasi atau hubungan seksual.
  • Tipe IV: merupakan tipe sunat yang melibatkan prosedur-prosedur yang merusak dan membahayakan alat kelamin wanita untuk alasan non-medis, antara lain penusukan, penggoresan piercing, pengirisan, dan cauterizing pada alat kelamin wanita.

Praktik sunat perempuan terbukti tidak memiliki manfaat apapun terhadap kesehatan seksual dan fisik wanita. Sebaliknya, sunat perempuan justru merusak dan mengganggu fungsi dasar organ seksual dan reproduksi wanita. Dampak dari sunat wanita juga sangat buruk bagi kesehatan fisik, psikis, dan seksual, diantaranya adalah rasa sakit, pendarahan, pembengkakan dan merusak jaringan alat kelamin, demam, infeksi, permasalahan ketika buang air, permasalahan dalam menstruasi, trauma, permasalahan seksual, meningkatkan resiko dalam komplikasi ketika melahirkan, dan kematian.[5]

 Budaya dan Sunat Perempuan di Indonesia

Diantara negara-negara yang masih menjalankan praktik sunat perempuan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka suat perempuan tertinggi, dimana dari tahun 2010-2015 49% perempuan Indonesia berumur 0-11 telah disunat dengan tipe pengirisan atau Tipe I, sementara 28% perempuan Indonesia disunat secara ‘simbolis’ melalui Tipe IV.[6] Tipe I dan Tipe IV adalah tipe sunat yang paling umum dilakukan di Indonesia, namun di beberapa daerah di Indonesia, seperti Madura, masih melakukan praktik sunat Tipe II dan Tipe III yang merupakan tipe sunat yang paling berbahaya.[7] Sunat perempuan dapat dilakukan oleh tenaga medis professional atau dukun. Dalam proses sunat, dukun terkait menggunakan pisau, silet, bambu yang diruncingkan, atau pisau dapur untuk memotong atau mengiris bagian dari klitoris dan setelah proses selesai luka potongan tersebut diberikan obat antiseptic.

 Pada tahun 2006, Indonesia telah membuat kemajuan dalam mengakhiri sunat perempuan, dengan membuat pelarangan praktik sunat perempuan oleh tenaga medis professional.[8] Namun pada tahun 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa yang menentang pelarang sunat perempuan oleh pemerintah. MUI menyatakan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari hukum syariah, sehingga tenaga medis professional harus menyediakan jasa sunat perempuan apabila diminta oleh keluarga, orang tua, dan masyarakat.[9] Fatwa tersebut juga meregulasi proses sunat perempuan, sehingga ‘aman’ bagi kesehatan fisik dan psikis perempuan. Tekanan dari MUI kemudian mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan regulasi PMK No. 1636/2010 yang memperbolehkan rumah sakit dan klinik ibu dan anak untuk terus menyediakan jasa sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga professional dan melarang prosedur sunat perempuan yang berbahaya.[10] Bahkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menawarkan sunat perempuat sebagai paket kelahiran bersama vaksin dan imunisasi. Komisi Nasional Antri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komite Perlindungan Anak telah melakukan advokasi untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun ditolak pada tahun 2014. Fenomena ini menjadikan sunat perempuan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan di justifikasi  pemerintah.

 Praktik sunat perempuan di Indonesia berakar dari nilai budaya dan agama di Indonesia. Sunat perempuan bahkan dianggap sebagai kewajiban dioleh banyak pemeluk agama islam. Hal ini menyebabkan tekanan sosial akan pentingnya sunat perempuan. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat, apabila perempuan tidak disunat maka, kewajibannya dalam islam seperti, sholat, puasa, sedekah, dan lainnya tidak akan diterima oleh Tuhan. Hubungan yang kuat antara sunat perempuan dengan budaya dan agama tercermin dari prosesi yang dilakukan oleh dukun dan doa-doa yang diucapkan selama prosesnya. Masyarakat Indonesia mempercayai bahya sunat perempuan dilakukan untuk menyelamatkan wanita dari hiperseksual. Sehingga perempuan yang tidak disunat akan dilabeli sebagai perempuan ‘nakal’, ‘liar’, ‘binal’, ‘genit’, dan ‘kotor’. Perempuan yang tidak disunat juga dianggap tidak akan mampu menjaga kesuciannya sampai menikah. Stigma-stigma negatif tersebut kemudian merendahkan perempuan yang tidak disunat di masyarakat dan komunitasnya sendiri. Faktor-faktor tersebut kemudian menekan orangtua untuk melaksanakan sunat kepada anak perempuannya.

Sunat Perempuan Sebagai Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia

Dampak dari Sunat perempuan sangat berbahaya, namun masih banyak orang yang belum menyadari bahwa sunat perempuan adalah bentuk kekerasan terhadap wanita yang di justifikasi oleh pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sunat perempuan telah di larang, hal ini disampaikan dalam pasal 5, yaitu “Tak Seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”[11] Selain dalam DUHAM, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada pasal 1 menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap wanita, yaitu, “Setiap tindakan yang membedakan, pengecualian, atau pembatasan yang berdasarkan oleh perbedaan jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk merusak atau meniadakan pengakuan, kebahagiaan, kenikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status pernikahan mereka, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang lainnya.”[12] Praktik sunat perempuan secara jelas meruakan bentuk penyiksaan terhadap wanita yang merusak kebahagiaan dan kenikmatan sebagai wanita. Praktik ini pada umumnya dilakukan setelah kelahiran. Pada posisi tersebut orangtua dari anak perempuan bertanggung jawab untuk menentukan tindakan yang terbaik bagi anak, namun sunat perempuan dilakukan tidak didasari untuk kebaikan anak tersebut, sebaliknya sunat perempuan justru banyak mengakibatkan konsekuensi dan dampak yang berbahaya bagi anak secara fisik, psikis, dan seksual.

Selain melanggar konvensi-konvensi internasional, stigma-stigma yang berkaitan dengan praktik sunat peremuan juga merupakan bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang tidak disunat dianggap sebagai ‘genit’ dan ‘binal’. Stigma tersebut sering kali menyebabkan wanita yang tidak menjali sunat kesulitan untuk mendapatkan pasangan untuk menikah dan pekerjaan di beberapa daerah di Indonesia.[13] Walaupun belum ada bukti medis yang terpercaya yang dapat membuktikan stigma tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa stigma-stigma terhadap wanita tersebut merupakan kekerasan berbasis gender secara structural yang tertanam di dalam sistem masyarakat yang patriarki yang di justifikasi oleh pemerintah. Sehingga pemerintah seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu imi melalui edukasi dan penyuluhan mengenai dampak merusak dari sunat perempuan di daerah urban dan rural di Indonesia. Tindakan tersebut diharapkan mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap sunat perempuan dan mampu melarang sunat perempuan sepenuhnya.



[1]World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet,  Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[2] World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[3] United Nations Children’s Emergency Fund, July 2013, New UNICEF Report on Female Genital Mutilation/ Cutting: Turning Opposition into Action, Available from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_pdfs/corecode/FGMC_Lo _res_Final_26.pdf [14 June 2016].

[4] Burrage, H, 2015, Eradicating Female Genital Mutilation: A UK Perspective, Henry Ling Limited, Dorchester, pp.27 – 30.

[5] Moseley, W.G., 2008, Taking Sides: Clashing Views on African Issues, McGraw-Hill Higher Education, Colombus, p. 223

[6] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[7] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

[8] Belluck, P., Cochrane, J., 2016, ‘UNICEF Reports Finds Female Genital Cutting to be Common in Indonesia’, New York Times, 4 February, Available From: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [ 15 June 2016]

[9] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[10] United Nations Children’s Emergency Fund, 2016, Division of Data, Research, and Policy – Indonesia, February 2016, Avaiable from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_country_profiles/corecode/222/Countries/FGMC_IDN.pdf [14 Juni 2016]

[11] United Nations, December 1948, Universal Declaration of Human Rights, Available from: http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/ [ 15 June 2016]

[12] United Nations, 1979, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Available from: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/ [ 15 June 2016]

[13] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

44234006
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6788
70157
13563
284564
44234006