Oleh Wakhit Hasim (Anggota perkumpulan Rifka Annisa; Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Kontribusi gerakan perempuan terhadap perubahan tata hukum di Indonesia dapat dikatakan progressif melebihi dari gerakan lain. Sejak munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan nasib perempuan tertindas pada masa Orde Baru tahun 1980-an, hingga munculnya gerakan advokasi kebijakan publik tahun 90an-2000an, gerakan ini menghasilkan sederet undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lain di bawahnya misalnya UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) No. 23 Tahun 2004, UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak), UU PTPPO (Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang) No. 21 Tahun 2007, Kepres RAN-PKTP (Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) Tahun 2001, Peraturan Menteri tentang SOP Layanan Perempuan Korban Kekerasan Tahun 2008, Layanan Satu Atap P2TP2A, pembentukan Komnas Perempuan, bahkan penggantian nama Kementerian Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan masih banyak lagi. Hasilnya, sejak tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan lebih leluasa memperjuangkan keadilan diri dan keluarganya secara hukum, dan kesadaran masyarakat atas adanya KDRT semakin tinggi.
Namun, apakah dengan demikian masyarakat berubah pandangan mengenai gender? Jika ya, apakah pandangan ini mempengaruhi tata kelola sumber daya kehidupan sehari-hari di desa-desa dan di komunitas-komunitas?
Jawabnya, masih sangat sedikit. Kalau tidak bisa dijawab BELUM. Jika diukur dari tahun 80-an kelahiran gerakan feminisme masa Orba sampai sekarang sudah berjalan 18 tahun, jawaban ini mengisyaratkan tentang kemiskinan strategi gerakan feminisme di tingkat komunitas-komunitas karena gerakannnya didominasi oleh wilayah elit.
Mengapa bisa demikian halnya? Ada empat hal yang saya temui di lapangan dalam pengalaman 20 tahun terlibat dalam gerakan ini, yaitu (1) bias aktivisme liberal, (2) kesadaran common sense, (3) tidak berkembangnya analisis sosial gender, dan (4) kurangnya role model untuk gerakan komunitas.
Bias liberalistik dalam aktifisme terlihat pada keyakinan bahwa mengubah masyarakat dilakukan dengan mengubah pandangan individu, baik melalui pelatihan, workshop, kampanye, maupun tekanan kebijakan pemerintah. Individu adalah basis unit strategi, dan masyarakat diandaikan sebagai agregat individu. Hal ini dilakukan di berbagai isu mulai sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan agama. Kajian tafsir gender bagi para aktifisnya telah memuaskan jika memperoleh pendekatan baru tafsir yang kontekstual, dan dengan demikian sudah dianggap maksimal. Pendekatan komunitas yang telah dilakukan beberapa LSM dan Ormas masih tetap berkonsentrasi pada perubahan individu, bukan tata kelola komunitas. Meskipun beberapa telah mengintegrasikan dengan musrenbang untuk mempengaruhi program dan budget, namun hasil nyata dari tata kelola sosial ini masih sangat sedikit dan lemah.
Saya juga memperhatikan mandegnya inovasi strategi pada LSM dan Ormas yang lama bergerak dalam isu feminisme. Dari waktu ke waktu, strategi program dan aktifitas telah seperti mengikuti pola umum yang dianggap paten, mulai dari pelatihan, workshop, kampanye, advokasi. Sejak gerakan ini dilakukan sampai sekarang masih sama, dan tidak bergeser. Pelatihan gender, pelatihan feminisme, pelatihan gender budget, strategi renstra, dll.
Sebagai akibat dari kecenderungan mengikuti common sense ini, analisis sosial gender tidak bergerak maju. Feminisme sebagai suatu wacana terus berdengung dari aliran liberalisme, marxisme, sosialisme, dunia ketiga, interseksionisme, radikalisme, post strukturalisme, dll. Hasilnya adalah serial jurnal yang akademik dan elit. Tidak ada yang menyentuh tanah, sawah, ladang, laut, nelayan, hubungan industrial dalam perburuhan, pola mobilisasi sumberdaya tanah, teknologi alternatif, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Sudah ada, tapi sayup-sayup.
Dan catatan terakhir saya, yang memberi contoh kongkret tentang gerakan yang menyatu dengan masyarakat, berbasis komunitas, pengorganisasian yang tidak programatik saja, tapi juga spasial, baik berbasis desa maupun kawasan, itu belum ada. Sudah ada, tapi masih sangat sedikit dan gaungnya belum ada.
Ini adalah autokritik buat gerakan perempuan, dimana saya juga terlibat di dalamnya. Jika Anda memiliki kesaksian lain untuk pengembangan bersama, silakan.
Cirebon, 17 Maret 2017
Oleh: R. Andadari Raya Hanantari
Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation)
Mutilasi alat kelamin wanita atau female genital mutilation merupakan “segala prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau secara keseluruhan alat kelamin bagian luar wanita atau melukai alat kelamin wanita untuk alasan non-medis”[1] Istilah yang familiar yang sering digunakan di Indonesia adalah sunat perempuan. Praktik sunat perempuan merupakan tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap perempuan. Praktik ini telah dilarang oleh berbagai organisasi internasional, Namun sunat perempuan tetap dilakukan oleh berbagai negara didunia. Sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis atau dukun. Namun karena kedekatannya dengan nilai-nilai agama dan budaya, pada umumnya sunat perempuan dilakukan oleh dukun yang tidak memiliki pendidikan medis. Hal ini menyebabkan alat-alat yang digunakan tidak steril dan seringkali menyebabkan infeksi alat kelamin. Berdasarkan data pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat 200 juta wanita dan perempuan dari 30 negara di dunia yang mengalami mutilasi alat kelamin atau sunat perempuan.[2]
Tabel 1. Persentase Praktik Mutilasi Alat Kelamin atau Sunat Perempuan di Dunia[3]
Negara | Persentasi Wanita dan Perempuan yang Mengalami Sunat atau Mutilasi Alat Kelamin |
Somalia | 98% |
Djibouti | 93% |
Mesir | 91% |
Sudan | 88% |
Yaman | 23% |
Iraq | 8% |
Republik Afrika Tengah | 24% |
Ethiopia | 74% |
Sunat Perempuan menyebabkan kerusakan pada alat kelamin, namun praktiknya terbagi menjadi empat tipe, yaitu:[4]
Praktik sunat perempuan terbukti tidak memiliki manfaat apapun terhadap kesehatan seksual dan fisik wanita. Sebaliknya, sunat perempuan justru merusak dan mengganggu fungsi dasar organ seksual dan reproduksi wanita. Dampak dari sunat wanita juga sangat buruk bagi kesehatan fisik, psikis, dan seksual, diantaranya adalah rasa sakit, pendarahan, pembengkakan dan merusak jaringan alat kelamin, demam, infeksi, permasalahan ketika buang air, permasalahan dalam menstruasi, trauma, permasalahan seksual, meningkatkan resiko dalam komplikasi ketika melahirkan, dan kematian.[5]
Budaya dan Sunat Perempuan di Indonesia
Diantara negara-negara yang masih menjalankan praktik sunat perempuan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka suat perempuan tertinggi, dimana dari tahun 2010-2015 49% perempuan Indonesia berumur 0-11 telah disunat dengan tipe pengirisan atau Tipe I, sementara 28% perempuan Indonesia disunat secara ‘simbolis’ melalui Tipe IV.[6] Tipe I dan Tipe IV adalah tipe sunat yang paling umum dilakukan di Indonesia, namun di beberapa daerah di Indonesia, seperti Madura, masih melakukan praktik sunat Tipe II dan Tipe III yang merupakan tipe sunat yang paling berbahaya.[7] Sunat perempuan dapat dilakukan oleh tenaga medis professional atau dukun. Dalam proses sunat, dukun terkait menggunakan pisau, silet, bambu yang diruncingkan, atau pisau dapur untuk memotong atau mengiris bagian dari klitoris dan setelah proses selesai luka potongan tersebut diberikan obat antiseptic.
Pada tahun 2006, Indonesia telah membuat kemajuan dalam mengakhiri sunat perempuan, dengan membuat pelarangan praktik sunat perempuan oleh tenaga medis professional.[8] Namun pada tahun 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa yang menentang pelarang sunat perempuan oleh pemerintah. MUI menyatakan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari hukum syariah, sehingga tenaga medis professional harus menyediakan jasa sunat perempuan apabila diminta oleh keluarga, orang tua, dan masyarakat.[9] Fatwa tersebut juga meregulasi proses sunat perempuan, sehingga ‘aman’ bagi kesehatan fisik dan psikis perempuan. Tekanan dari MUI kemudian mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan regulasi PMK No. 1636/2010 yang memperbolehkan rumah sakit dan klinik ibu dan anak untuk terus menyediakan jasa sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga professional dan melarang prosedur sunat perempuan yang berbahaya.[10] Bahkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menawarkan sunat perempuat sebagai paket kelahiran bersama vaksin dan imunisasi. Komisi Nasional Antri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komite Perlindungan Anak telah melakukan advokasi untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun ditolak pada tahun 2014. Fenomena ini menjadikan sunat perempuan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan di justifikasi pemerintah.
Praktik sunat perempuan di Indonesia berakar dari nilai budaya dan agama di Indonesia. Sunat perempuan bahkan dianggap sebagai kewajiban dioleh banyak pemeluk agama islam. Hal ini menyebabkan tekanan sosial akan pentingnya sunat perempuan. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat, apabila perempuan tidak disunat maka, kewajibannya dalam islam seperti, sholat, puasa, sedekah, dan lainnya tidak akan diterima oleh Tuhan. Hubungan yang kuat antara sunat perempuan dengan budaya dan agama tercermin dari prosesi yang dilakukan oleh dukun dan doa-doa yang diucapkan selama prosesnya. Masyarakat Indonesia mempercayai bahya sunat perempuan dilakukan untuk menyelamatkan wanita dari hiperseksual. Sehingga perempuan yang tidak disunat akan dilabeli sebagai perempuan ‘nakal’, ‘liar’, ‘binal’, ‘genit’, dan ‘kotor’. Perempuan yang tidak disunat juga dianggap tidak akan mampu menjaga kesuciannya sampai menikah. Stigma-stigma negatif tersebut kemudian merendahkan perempuan yang tidak disunat di masyarakat dan komunitasnya sendiri. Faktor-faktor tersebut kemudian menekan orangtua untuk melaksanakan sunat kepada anak perempuannya.
Sunat Perempuan Sebagai Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia
Dampak dari Sunat perempuan sangat berbahaya, namun masih banyak orang yang belum menyadari bahwa sunat perempuan adalah bentuk kekerasan terhadap wanita yang di justifikasi oleh pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sunat perempuan telah di larang, hal ini disampaikan dalam pasal 5, yaitu “Tak Seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”[11] Selain dalam DUHAM, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada pasal 1 menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap wanita, yaitu, “Setiap tindakan yang membedakan, pengecualian, atau pembatasan yang berdasarkan oleh perbedaan jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk merusak atau meniadakan pengakuan, kebahagiaan, kenikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status pernikahan mereka, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang lainnya.”[12] Praktik sunat perempuan secara jelas meruakan bentuk penyiksaan terhadap wanita yang merusak kebahagiaan dan kenikmatan sebagai wanita. Praktik ini pada umumnya dilakukan setelah kelahiran. Pada posisi tersebut orangtua dari anak perempuan bertanggung jawab untuk menentukan tindakan yang terbaik bagi anak, namun sunat perempuan dilakukan tidak didasari untuk kebaikan anak tersebut, sebaliknya sunat perempuan justru banyak mengakibatkan konsekuensi dan dampak yang berbahaya bagi anak secara fisik, psikis, dan seksual.
Selain melanggar konvensi-konvensi internasional, stigma-stigma yang berkaitan dengan praktik sunat peremuan juga merupakan bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang tidak disunat dianggap sebagai ‘genit’ dan ‘binal’. Stigma tersebut sering kali menyebabkan wanita yang tidak menjali sunat kesulitan untuk mendapatkan pasangan untuk menikah dan pekerjaan di beberapa daerah di Indonesia.[13] Walaupun belum ada bukti medis yang terpercaya yang dapat membuktikan stigma tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa stigma-stigma terhadap wanita tersebut merupakan kekerasan berbasis gender secara structural yang tertanam di dalam sistem masyarakat yang patriarki yang di justifikasi oleh pemerintah. Sehingga pemerintah seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu imi melalui edukasi dan penyuluhan mengenai dampak merusak dari sunat perempuan di daerah urban dan rural di Indonesia. Tindakan tersebut diharapkan mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap sunat perempuan dan mampu melarang sunat perempuan sepenuhnya.
[1]World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].
[2] World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].
[3] United Nations Children’s Emergency Fund, July 2013, New UNICEF Report on Female Genital Mutilation/ Cutting: Turning Opposition into Action, Available from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_pdfs/corecode/FGMC_Lo _res_Final_26.pdf [14 June 2016].
[4] Burrage, H, 2015, Eradicating Female Genital Mutilation: A UK Perspective, Henry Ling Limited, Dorchester, pp.27 – 30.
[5] Moseley, W.G., 2008, Taking Sides: Clashing Views on African Issues, McGraw-Hill Higher Education, Colombus, p. 223
[6] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [14 Juni 2016]
[7] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13
[8] Belluck, P., Cochrane, J., 2016, ‘UNICEF Reports Finds Female Genital Cutting to be Common in Indonesia’, New York Times, 4 February, Available From: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [ 15 June 2016]
[9] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [14 Juni 2016]
[10] United Nations Children’s Emergency Fund, 2016, Division of Data, Research, and Policy – Indonesia, February 2016, Avaiable from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_country_profiles/corecode/222/Countries/FGMC_IDN.pdf [14 Juni 2016]
[11] United Nations, December 1948, Universal Declaration of Human Rights, Available from: http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/ [ 15 June 2016]
[12] United Nations, 1979, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Available from: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/ [ 15 June 2016]
[13] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13