Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dan Rifka Annisa mengadakan audiensi dan penandatanganan perjanjian kerja sama mengenai layanan rujukan, penguatan kapasitas, dan kampanye isu-isu perempuan, anak, serta keluarga pada Kamis, 7 Desember 2023.
Pertemuan yang diadakan di aula kantor Rifka Annisa ini dihadiri oleh tim Direktorat Gender Equality and Social Inclusion (GESI) dan Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga (Pusdeka) UNU.
Perjanjian kerja sama dilakukan di antaranya guna merespons adanya berbagai kasus kekerasan berbasis gender maupun seksual di lembaga pendidikan. Sehingga, Center for GESI sebagai unit di bawah LP3M UNU diberi mandat untuk mewujudkan kampus yang setara dan inklusif, sebagaimana dipaparkan oleh Wiwin SA Rohmawati, Direktur Center for GESI UNU.
Direktur Pusdeka UNU, Rindang Farihah, juga menuturkan bahwa upaya kerja sama sedemikian rupa merupakan upaya memperkuat sistem, mengingat Pusdeka dan Center for GESI merupakan unit baru di UNU. Di samping itu, UNU juga telah menjalankan inisiatif untuk mewujudkan kampus sebagai ruang yang aman dan nyaman, dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Direktur Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, menerangkan bahwa kolaborasi antarlembaga penting dilakukan untuk mewujudkan sinergi yang kuat dalam mewujudkan kampus bebas kekerasan seksual sekaligus produktif. Di samping itu, upaya pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan seksual juga urgen dilakukan untuk membangun lembaga yang mampu menjamin masa depan semua orang yang dinaunginya.
Adapun skema kerja sama 4 tahun ini juga diharapkan dapat berlanjut di masa yang akan datang dan terutama membawa manfaat bagi banyak orang.
Batas waktu pendaftaran : Minggu, 20 Agustus 2023
Rifka Annisa yang adalah organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan
terhadap perempuan, didirikan di Yogyakarta pada tahun 1993. Visi lembaga ini untuk mewujudkan
tatanan masyarakat yang adil gender yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan melalui
prinsip keadilan sosial, kesadaran dan kepedulian, kemandirian, integritas yang baik, dan memelihara
kearifan lokal. Rifka Annisa menjalankan kegiatan tahunan yang berfokus pada pendampingan perempuan dan anak
korban kekerasan, penguatan sistem dan mekanisme layanan korban baik di Yogyakarta maupun
wilayah provinsi lain di Indonesia, pendampingan komunitas, advokasi, kampanye, pelatihan, serta
riset mengenai isu-isu Kekerasan Berbasis Gender. Program-program tahunan ini didanai oleh usaha
fundrising Rifka Annisa dan lembagal-embaga mitra donor baik pemerintah maupun non pemerintah
yang sesuai dengan visi dan misi Rifka Annisa.
Untuk memastikan kegiatan-kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan anggaran yang
telah disepakati, saat ini sedang membutuhkan staf dengan posisi sebagai berikut :
Koordinator Keuangan
Koordinator Keuangan akan bekerja di bawah pengawasan Bendahara Yayasan Rifka Annisa Sakina. Tanggung Jawab Manajerial :
1. Memastikan kepatuhan terhadap peraturan keuangan Rifka Annisa dan peraturan keuangan
lembaga donor yang berlaku
2. Memastikan penggunaan sumber daya keuangan yang efektif dan transparan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur Yayasan Rifka Annisa Sakina
3. Mengembangkan dan meninjau anggaran program
4. Menjaga hubungan perbankan dan merencanakan serta memantau kebutuhan arus kas untuk
memastikan kelancaran implementasi program
5. Berhubungan dengan kantor pajak untuk memastikan terlaksananya urusan perpajakan
6. Berhubungan dengan auditor untuk memastikan pemantauan tahunan
7. Memperbaiki sistem dan prosedur keuangan
8. Memastikan sistem keuangan tersedia untuk meninjau kinerja keuangan secara teratur
9. Mendukung manajer program dan manajer divisi melakukan pemantauan anggaran sebagai
bagian dari kerangka kontrol keuangan
10. Menjaga sistem perngarsipan yang lengkap dari catatan keuangan berbasis elektronik dan kertas
11. Mempersiapkan, menerima, atau meninjau semua permintaan pengadaan dari petugas program
maupun divisi, dan mengumpulkan semua informasi dan dokumen yang diperlukan sebelum
menyerahkan untuk disetujui pimpinan
12. Bekerjasama dengan Direktur Rifka Annisa WCC dan Bendahara Yayasan Rifka Annisa Sakina
untuk memastikan semua transaksi keuangan dan laporan keuangan sesuai dengan kebijakan
organisasi, aturan donor, dan standar akuntansi pekerjaan lain yang ditugaskan oleh atasan
Tanggung Jawab Teknis :
1. Melakukan pencatatan atas transaksi keuangan dalam sistem keuangan Sango
2. Membuat laporan keuangan bulanan
3. Membuat rekonsiliasi bulanan
4. Mengelola dan membuat laporan penggunaan kas kecil
5. Mempersiapkan seluruh data keuangan untuk prose sudit
6. Memeriksa keseluruhan dokumen keuangan dari divisi dan project secara teliti
7. Memahami dan menjalankan tugas sesuai standar akuntansi keuangan
Kualifikasi :
1. Pendidikan S1 Jurusan Akuntansi atau Manajemen
2. Jujur, teliti, proaktif, bertanggung jawab, dan memiliki komitmen anti fraud
3. Memiliki setidaknya 5 tahun pengalaman di posisi keuangan
4. Memahami sistem perpajakan, keuangan, dan penganggaran
5. Familiar dengan software akutansi SANGO
6. Tidak terikat dalam hubungan kerja dengan pihak lain
7. Bersedia bekerja secara full time berbasis di Yogyakarta
Pendaftaran :
1. Mengisi formulir pendaftaran : http://bit.ly/KoordinatorKeuanganRA2023
2. Mempersiapkan lampiran :
a. Surat lamaran ditujukan kepada HRD Rifka Annisa
b. Curriculum Vitae dan Motivation Letter
c. Scan ijazah, Transkrip Nilai, KTP
Informasi Lebih Lanjut :
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Hotline : 08579057765
Setiap rumah tangga pasti mendambakan kehidupan yang harmonis dan penuh kesalingan. Namun beberapa waktu lalu media sosial ramai pemberitaan terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau domestic violence. Rumah, dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman dan nyaman untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh petualangan, kebahagian dan kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum berarti masyarakat menganggap situasi diluar rumahlah yang membahayakan. Namun terjadinya kekerasan diruang privat menjadi patahan tersendiri bagaimana Rumah yang dianggap ruang paling nyaman dan aman menjadi sebaliknya.
KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah. Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai,
... perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sebetulnya payung hukum untuk kasus KDRT sudah tersedia sejak tahun 2004, dan sekarang sudah hampir mencapai 19 tahun pasca disahkannya UU PKDRT. Ini jadi refleksi bersama bahwa selama hampir 19 tahun berlangsung angka KDRT selalu menduduki urutan pertama dalam kasus kekerasan berbasis gender.Menurut catatan tahunan komnas perempuan tahun 2022 angka Kekerasan terhadap istri mencapai 771 kasus dengan korban paling banyak pada usia 25-35, hal ini menujukan bahwa korban mayoritas adalah pasangan muda.
Mayoritas dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi korban adalah perempuan. Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat, kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal , yang dengan hal itu laki-laki secara kultural telah dipersilakan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Selain itu laki-laki dan perempuan memiliki peran biologi.
Menurut teori nurture melihat perbedaan biologis sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Kekhasan struktur biologis perempuan menempatkannya pada posisi yang marginal dalam masyarakat. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik, lemah, emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Relasi sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki. Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut. Dengan perbedaan semacam ini, perempuan selalu tertinggal dalam peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda. Konstruksi gender dalam masyarakat itu telah terbangun selama berabad-abad membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Faktor pemicu terjadinya kekerasan diruang privat sangatlah kompleks mulai dari budaya patriarki, ekonomi, kecemburuan adanya relasi yang timpang, adanya pihak ketiga dalam rumah tangga, beberapa aktivitas yang dapat merugikan pasangan (Mabuk-mabukan, bermain judi, dll). Berbagai faktor pemicu menjadi beragamnya bentuk kekerasan dalam ruang privat mulai dari kekerasan fisik (ditampar, dijambak, ditempeleng, diinjak-injak), kekerasan psikis (caci maki, ancaman), kekerasan seksual (pemaksaan hubungan seksual, dll) dan penelantaran rumah tangga. Beberapa korban memilih untuk diam atas kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan mereka tidak mau terjadi peristiwa yang lebih parah lagi, ini adalah aib yang harus ditutup rapat dan tidak menghendaki permasalahan semakin berlarut-larut. Selain bersikap diam, beberapa korban memilih melawan terhadap suami atas kekerasan yang menimpanya. Perlawanan tersebut sebagai upaya perlindungan atas serangan suami yang mengakibatkan luka fisik maupun nonfisik.
Dampak terjadinya kekerasan di ruang privat sangat beragam mulai dari mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Kondisi demikian tidak hanya dirasakan oleh korban namun juga orang disekitar korban mulai dari anak, rekan kerja sampai dengan orang tua.
Beberapa bulan lalu sempat ramai pemberitaan salah satu Artis yang mencabut laporan KDRT yang dilakukan oleh suaminya, dan netizen merasa diprank, merasa marah, turut merasa kecewa bahkan merendahkan korban. Padahal jika ditinjau dari hal ini korban sangat mungkin untuk mengalami dinamika psikologis, karena dalam kasus kekerasan dalam ruang privat mengalami situasi khusus yang kadang sulit untuk memutuskan apakah harus melanjutkan hubungan atau menyudahinya. Dalam kekerasan privat memiliki kecenderungan terjadi siklus kekerasan oleh karena itu kekerasan diruang privat dapat terjadi secara berulang.
Gambar Siklus Kekerasan
Gambar diatas menujukan gambaran siklus kekerasan yang terjadi di ruang privat berawal dari konflik kemudian menimbulkan kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, kemudian masuk pada fase meminta maaf, pada fase ini pasangan akan melakukan apapun untuk meminta maaf dan merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan, kemudian masuk pada pengejaran Kembali, fase ini adalah masa dimana biasanya pasangan sudah mulai memaafkan dan mencoba melupakan apa yang sudah terjadi, pada fase ini biasanya banyak sikap manis yang ditujukan oleh pasangan, dan masuk pada fase bulan madu, fase ini biasanya Kembali pada fase seperti saat fase awal-awal menikah, penuh bujuk rayu, melakukan apapun demi pasangan dll. Jika terjadi konflik lagi dalam rumah tangga tersebut akan mengalami siklus yang diawal dimulai dengan konflik dan berakhir dengan fase bulan madu.
Siklus kekerasan ini kiranya cukup untuk menjelaskan bagaimana kekerasan di ruang privat terus terjadi secara berulang, dan bagaimana proses dinamika korban berlangsung. Oleh karena itu sebagai masyarakat lebih bijak lagi dalam melihat situasi korban yang terjebak dalam siklus kekerasan ini.
Mari bersama ciptakan ruang aman! Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, telah menggeser wilayah persoalan privat menjadi persoalan publik. Perlu untuk bersama-sama mengawal implementasi UU PKDRT No.23 tahun 2004 karena sudah hampir 19 tahun implementasi UU PKDRT namun angka terjadinya KDRT terus meningkat. Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Sumber :
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022
Hardani, Sofia dkk. 2010. Perempuan Dalam Lingkaran KDRT.Riau : Program Kajian Wanita – UNRI.
Poerwandari, Kristi. 2006. Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Jakarta: Program Kajian Wanita – PPs-UI.
Rochmat Wahab. 2010, Jurnal Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Hallyu atau Korean Wave yang jika diartikan secara harfiah berarti Gelombang Korea merupakan istilah yang mengacu pada popularitas budaya Korea yang tersebar secara global di seluruh dunia. Hallyu mencakup berbagai aspek diantaranya musik, drama televisi, film, makanan, literatur, kosmetik, dan bahasa.
Pandemi Covid-19 pun berpengaruh terhadap penyebaran hallyu di dunia. Wabah ini membatasi masyarakat untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Aktivitas yang terlalu monoton membuat masyarakat memilih menghibur diri dengan menonton konten asal Korea selatan seperti K-Drama (Korean Drama), K-Movie (Korean Movie), K-Pop (Korean Pop), variety show dan reality show sebagai alternatif untuk menghilangkan kejenuhan tersebut. Akhir tahun 2022 menjadi balas dendam bagi banyak musisi setelah pandemi menghambat mereka untuk melaksanakan konser. Banyak musisi internasional yang akhirnya datang ke Indonesia untuk melaksanakan konser dan berjumpa dengan penggemar, termasuk grup boy dan girl band asal Korea Selatan.
Tapi fakta dilapangan idol korea juga rentan menjadi korban pelecehan seksual yang berupa seksualisasi, bahkan oleh penggemarnya. Apakah kamu termasuk penggemar yang cerdas, atau justru melakukan pelecehan kepada idolamu? Yuk, disimak.
1.Apa itu seksualisasi?
Bragg, Buckingham, Russell dan Willett (2011) untuk mendeskripsikan makna istilah seksualisasi dalam bentuk barang sebagai berikut:
(1) Barang/produk yang mempunyai rujukan pada praktik-praktik seksual melalui gambar, kata-kata, or humor.
(2) Barang/benda yang nampaknya merujuk pada konteks seksual melalui gambar, kata-kata, warna,dan corak; di mana familiaritas dengan suatu benda bertolak dari konteks yang terseksualisasi.
(3) Barang-produk yang menekankan bagian-bagian tubuh dan bentuk-bentuk tubuh yang secara kultural diasosiasikan dengan seksualitas dewasa.
(4) Barang/benda yang menjiplak mode atau style yang pada masanya dipandang high fashion untuk orang dewasa. Produk ini mencakup barang barang yang dipasarkan sedemikian rupa yang mengkombinasikan item-item dari seksualitas dewasa yang diasosiasikan dengan masa anak-anak, sedemikian rupa sehingga menormalkan mereka sebagai barang untuk anak.
(5) Barang/produk yang merujuk pada stereotip gender; misalnya dengan berlebihan menekankan daya tarik fisik, mengasosiasikan perempuan dengan cinta dan intimitas, atau mengasosiasikan pria dengan agresivitas dan dominasi, lewat kata-kata, gambar, symbol atau aktivitas.
Seksualisasi adalah bentuk objektifikasi yang dilakukan oleh seseorang yang merujuk pada praktik-praktik seksual melalui gambar, kata kata, humor.
Seksualisasi berkaitan erat dengan objektifikasi. Seseorang yang melakukan seksualisasi terhadap seseorang berawal dari adanya asumsi bahwa seseorang tersebut objek yang dapat seksualisasi.
2. Seberapa rentan idol korea mendapatkan seksualisasi?
Idol korea, public figure dengan popularitas transnasional sangat rentan menjadi korban seksualisasi dan objektifikasi.
Pergeseran paradigma yang menggambarkan idol korea sebagai seorang publik figur menjadi salah satu komoditas industri menjadikan idol korea sering terjebak dalam bentuk objektifikasi hingga seksualisasi yang dilakukan oleh industri hiburan, maupun fans (penggemar) mereka sendiri.
Seksualisasi tidak hanya dialami oleh idol perempuan, tetapi juga pada idol laki-laki.
3. Apa saja bentuk-bentuk seksualisasi idol?
Pada konferensi pers tahun 2016, Seolhyun AOA tampil cantik menggunakan dress ketat, namun sayangnya hal tersebut tidak membuat Seolhyun percaya diri karena terlalu terbuka dan ketat, sehingga ia terlihat selalu menutupi bagian depan tubuhnya menggunakan tangannya.
Girl group "FANATICS" pada saat melakukan siaran VLive. Siaran tersebut menjadi ricuh saat kamera yang digunakan untuk merekam live mereka tiba-tiba berubah angle menunjukkan tubuh bagian bawah member FANATICS yang pada saat itu sedang menggunakan dress dan rok pendek.
Terdapat seseorang yang memberikan jaket kepada member, lalu terdengar suara dari belakang kamera yang tidak terima jika member FANATICS ditutupi dengan jaket. Suara tidak terima tersebut berasal dari CEO agensi yang sengaja mengarahkan kamera kepada bagian bawah member untuk dipertontonkan selama siaran.
2. Menjadikan idol sebagai tokoh fan fiction dengan cerita sensual
Kreativitas penggemar idol korea memang tanpa batas. Sering kita jumpai banyak penggemar yang menjadikan idolanya sebagai tokoh dalam cerita alternate universe (AU) atau fan fiction yang mereka tulis di media sosial. Tak jarang fanfiction atau AUyang ditulis mengandung konten pornografi yang melibatkan idol mereka. Pada 11 Januari 2021 lalu, muncul sebuah petisi di website petisi Blue House yang isinya menuntut hukuman bagi mereka yang membuat dan mendistribusikan fanfic dengan konten seksualisasi terhadap idol.
3. Debut idol di bawah usia legal
Pada awal kemunculan K-Wave, masyarakat korea masih memperdebatkan beberapa idol yang debut pada usia belia. Namun, kini banyak idol yang debut sebelum genap berusia 15 tahun.
Salah satu grup idol yang baru debut pada tahun 2022, New Jeans, beranggotakan anak-anak perempuan dengan usia tertua 18 tahun & termuda 14 tahun. Mereka juga menggunakan pakaian yang cukup terbuka dan menonjolkan bagian tubuh tertentu, serta membawakan lagu yang tidak sesuai usianya
Idol yang debut di usia anak berisiko terjerat kasus eksploitasi tenaga kerja dan menjadi objek seksualisasi oleh kaum pedofilia karena usia anak belum dapat memutuskan pilihan dengan informasi yang utuh dan matang.
5.Percakapan mengomentari bagian tubuh idol dengan nada seksual.
Ketika sedang menyelami konten idol korea, kita sering jumpai banyak komentar mengenai tubuh idol yang bernada sensual. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelecahan seksual dengan bentuk seksualisasi terhadap idol.
6. Sentuhan yang tidak dikehendaki.
Pada saat berada di ruang publik, idol korea sering dikerubungi oleh penggemarnya. Jika pengamanan yang disediakan tidak cukup ketat, maka penggemar akan dengan mudah menyentuh idol mereka. Beberapa kali tertangkap kamera beberapa penggemar yang menyentuh bagian tubuh idol. TIndakan ini termasuk pelecehan seksual karena menyentuh tubuh seseorang tanpa consent dari pemilik tubuh.
7. What should we do?
a.Fans
Stop sexualizing your idol!
Banyak cara suportif yang dapat penggemar lakukan untuk mendukung setiap karya idol korea. Melakukan pelecehan seksual dalam bentuk seksualisasi terhadap idol merupakan tindakan yang salah, dan sudah sepantasnya penggemar berhenti melakukan hal tersebut.
b.Agensi Idol
Membuat kampanye anti kekerasan
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadi pelecehan seksual dapat dengan mengkampanyekan isu #nonviolence kepada seluruh fans idol. Akan sangat baik jika konser berlangsung dengan damai dan nyaman, kampanye dilakukan untuk membangun kesadaran bahwa tindakan pelecehan seksual tidak dapat dinormalisasi.
Indonesia memiliki letak geografi Indonesia diantara dua benua dan dua samudera, serta berada di titik pertemuan dua lempengan bumi Pasifik dan Hindia, membuat Indonesia rentan mengalami bencana alam. Bencana Menurut UU NO. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah mengartikan bencana sebagai “Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
Menurut data yang diperoleh dari website resmi BNPB di tahun 2018 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi 513 bencana di Indonesia. Dan yang terbesar yang terjadi di Lombok pada Agustus 2018 memakan korban jiwa sebanyak 259 jiwa dan ribuan korban luka berat dan ringan. Tentu saja dalam bencana kelompok perempuan, anak, disabilitas dan kelompok rentan lainnya menjadi korban yang paling tinggi. Dikarenakan aktivitas sehari-hari mereka yang lebih banyak berada di dalam rumah, saat bencana terjadi sehingga mereka lebih sulit menyelamatkan diri. Di tambah dengan kerentanan menghadapi kasus Kekerasan Berbasis Gender dalam bencana dan pasca bencana.
Kekerasan tersebut terjadi dipicu karena terpisahnya mereka dengan komunitas keluarga, tinggal pada tenda-tenda padat pengungsi, bercampur antara perempuan, laki-laki, dan anak tanpa adanya ruang privasi serta tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan akses terhadap berbagai fasilitas termasuk hilangnya mata pencaharian menjadi kerentanan ekonomi menjadi pemicu tindakan kekerasan oleh banyak pihak. Kondisi diatas mempertebal kemungkinan terjadinya kekerasan kekerasan berbasis gender, walaupun bukan menjadi faktor utama penyebab kekerasan tersebut. Fakta nyata satu bulan setelah terjadinya bencana gempa di Lombok, dalam fase pemulihan, sudah muncul lima kasus pelecehan dan pencabulan terhadap perempuan dan anak mulai terungkap di tenda-tenda pengungsian.
Fenomena ini dikhawatirkan merupakan fenomena gunung es yang harus diselesaikan segera mungkin. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam situasi krisis adalah kerentanan anak terhadap KBG (kekerasan berbasis gender). Situasi krisis ini dapat mencakup situasi bencana maupun konflik. Selama situasi krisis, anak dihadapkan pada masalah seperti terpisah dari keluarga atau masyarakat yang menjadi pelindungnya, sehingga mereka akan beresiko mengalami kekerasan seksual, terlebih anak remaja perempuan. Anak-anak akan menjadi sasaran grooming dalam situasi darurat terlebih dapat menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan pemaksaan terhadap pernikahan anak. (UNFPA,2018)
Secara umum, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 mencatat sebanyak 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki & 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya. Adapun dalam kondisi krisis, yakni kondisi bencana wabah pandemi Covid-19, SNPHAR 2021 juga mencatat bahwa 2 dari 10 anak laki-laki & 3 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu bentuk kekerasan atau lebih, di mana kekerasan emosional menjadi bentuk kekerasan tertinggi dibandingkan dengan bentuk kekerasan lainnya.Selain itu, dalam situasi krisis lain, yakni kondisi konflik tahun 1965-2009 di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, meliputi kekerasan seksual sebanyak 1511 kasus dan kekerasan nonseksual sebanyak 302.642 kasus. Data kasus pada anak remaja, secara spesifik pada situasi bencana saat ini masih belum banyak terlaporkan. Seringkali penyintas anak yang mengalami tindak kekerasan seksual berisiko mengalami cidera fisik, IMS termasuk HIV, termasuk mengalami masalah psikologis yang berat, antara lain karena stigma masyarakat atas apa yang telah dialami korban.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender di situasi krisis bencana maupun konflik, perlu dilakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempatkan kelompok rentan di pengungsian dan memastikan satu keluarga berada dalam tenda yang sama. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan ruang aman bagi anak pada situasi krisis, diantaranya :
Perlindungan hak anak terbebas dari kekerasan terlebih dalam situasi krisis khusunya bencana alam penting menjadi perhatian seluruh pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, komunitas harus berjalan secara kolaboratif, integratif dan komperhensif. Dalam Implementasi lapangannya membutuhkan keterlibatan dari seluruh pihak baik stuktural maupun kultural melalui kebijakan di tingkat nasiona, daerah, sampai dengan desa, kolaborasi lintas sektorla ini memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Oleh karena itu perlu adanya kesamaan persepsi ataupun pemahaman tentang pentingnya partisipasi mulai level individu sampai dengan pemerintah sebagai upaya menekan angka KBG dalam situasi bencana.
Sumber : Artikel Kemenppa “Angka kekerasan terhadap anak sepanjang 2021 menurun” (2021)
Publikasi UNFPA dan Kementrian Kesehatan RI “ Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi Remaja Pada Krisis Kesehatan” (2017)
Buku Pedoman UNFPA “Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Bencana” (2018)