Print this page

Urgensi Keterlibatan Laki-laki Mewujudkan Kesetaraan Gender Featured

Written by  Jumat, 28 Juli 2023 22:21
Rate this item
(0 votes)

“Revolusi feminin baru akan sungguh-sungguh terjadi jika ada revolusi maskulin.” 

Ester Lianawati dalam bukunya “Akhir Pejantanan Dunia” memberi energi untuk terus berjuang mencari formulasi yang tepat dan efektif untuk bersama-sama mewujudkan kesetaraan gender. Salah satu yang ditawarkan adalah transformasi nilai maskulinitas.Agenda kesetaraan gender sering kali disalahartikan karena dianggap sebagai urusan perempuan saja. Padahal, kesetaraan gender akan terwujud jika satu sama lain saling bahu-membahu tanpa memandang ras, budaya, sampai dengan jenis kelamin. 

Gender bukan didasarkan pada perbedaan biologis. Melainkan, pada pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan secara sosial budaya. Ini merupakan konstruksi (bentukan) dan bersifat dapat berubah sewaktu-waktu. Misalnya, bahwa laki-laki bertindak rasional, kuat, agresif, tegas, dan bahwa perempuan bertindak emosional, ragu-ragu, pasif, lemah. Lebih lanjut, anggapan tersebut memunculkan pembagian bidang kerja antara perempuan dan laki-laki, di ruang publik dan domestik.

Awalnya, pembedaan tersebut bukan suatu masalah. Namun, kesenjangan muncul saat pembakuan terjadi. Implikasinya, muncul diskriminasi atau pembedaan perlakuan terhadap salah satu pihak—baik pada perempuan maupun laki-laki.Pembedaan tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan maupun laki-laki dalam hal akses dan kontrol atas sumber daya, kesempatan, status, hak, serta peran dan penghargaan.Menilik sejarah, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, didasari atas kondisi biologis laki-laki dan perempuan. Kondisi biologis inilah yang melahirkan pembagian beban kerja yang berbeda. 

Sehingga, terinternalisasi bahwa perempuan sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga, sementara laki-laki bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Sesuai yang dianggap kodrat, tugas-tugas yang diberikan alam kepada perempuan adalah melahirkan dan membesarkan anak-anak di dalam lingkungan rumah tangga serta memasak dan memberi perhatian kepada suaminya. Tugas-tugas perempuan tersebut akan membuat rumah tangganya tentram dan sejahtera karena berada di dalam lingkungan rumah tangganya. Sementara laki-laki mendapat tugas lain, yakni pergi ke luar rumah untuk bekerja mencari makan agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi.

Pembagian kerja yang sudah berlangsung sekian lama tersebut memunculkan kecenderungan untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang kodrati dan alami. Akibat dari konstruksi sosial itu, manusia akhirnya mendapatkan label menurut jenis kelaminnya, yang dilatarbelakangi oleh ideologi yang berasal dari budaya patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. 

Oleh karena itu, kesetaraan gender bukan perkara persaingan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki, melainkan upaya untuk saling bahu-membahu menciptakan dunia yang setara. Kesetaraan gender dapat diwujudkan melalui transformasi nilai atau pemahaman. Baik kepada perempuan untuk saling dukung satu sama lain dalam membebaskan diri, juga pada laki-laki, untuk terus menumbuhkan empati, terutama dari privilege atau kenyamanan, baik secara biologis maupun sosial yang dimilikinya. Meski perlu beranjak dari kenyamanan, hal ini wajib dilakukan jika mengimpikan kesetaraan gender dapat terwujud secara utuh. Penting untuk berbagi ruang, baik di sektor ekonomi, politik, sosial, agama dan budaya. 

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hakikatnya, kesetaraan gender hadir untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan, fasilitas, dan manfaat yang sama. Pada tahun 1960-an R.W. Connell dan ilmuwan lain seperti Jill Steans mengusulkan perubahan konsepsi gender dengan tidak lagi fokus pada isu perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya dikotomis.

Namun, lebih melihat relasi gender antar keduanya. Lebih jelasnya, Connell kemudian mendefinisikan gender sebagai “A matter of the social relations within which individuals and groups act.” yang berarti "Masalah konstruksi sosial yang mempengaruhi hubungan sosial di mana individu dan kelompok bertindak." Steans juga mengartikan gender sebagai ”Ideological and material relations” yang berarti hubungan ideologi dan materil yang eksis di antara laki-laki dan perempuan. 

Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa konsepsi relasi gender tidak hanya mencerminkan hubungan personal dan sosial tapi juga hubungan kekuasaan dan simbolik. Analisis itu menunjukkan bahwa selama ini, yang mendominasi dan berkuasa adalah maskulinitas. Siapa pun berpeluang menjadi korbannya; tidak hanya perempuan, laki-laki juga terdampak dari dominasi maskulinitas ini. Hal ini juga menegaskan bahwa  untuk menjadi subjek, tidak selalu butuh objek.

The United Nations Development Programme Gender Social Norms Index 2022 menunjukkan, meskipun dalam beberapa dekade terakhir ada kemajuan dalam menurunkan kesenjangan gender, tetapi sekitar 85 persen atau 9 dari 10, laki-laki dan perempuan di seluruh dunia masih bias gender. Situasi ini sudah seharusnya ditangkap sebagai tanda bahaya dalam gerakan menuju kesetaraan dan perlu direspons segera. 

Sudah saatnya kita membongkar persoalan patriarki dengan melihat perempuan dan laki-laki dalam model pendekatan relasional, tidak sendiri-sendiri. Kita tidak perlu mengangkat pengalaman khas perempuan dan laki-laki yang satu sama lain tidak dapat dilepaskan. Keduanya bisa membebaskan diri dari ideologi bernama patriarki. Laki-laki dan perempuan bekerja sama “to complete”, bukan “to compete”—untuk saling melengkapi, bukan menyaingi.




Read 6288 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:28