Print this page

Curiga Suami Gay

Written by  Jumat, 29 Jun 2018 11:05
Rate this item
(2 votes)

Salam Ibu,

Sudah lama saya ingin menceritakan masalah rumah tangga ini, tapi saya malu. Saya Ibu rumah tangga 39 tahun. Sudah menikah selama 8 tahun. Suami saya 10 tahun lebih tua. Awalnya saya kira baik, karena jauh lebih dewasa dan bisa ngemong. Namun lama-lama saya baru tahu bahwa tabiat aslinya sangat kasar, dan tidak segan-segan merendahkan. Saya sering mendapatkan umpatan sebacam bodoh, goblok, dan lain-lain. Tadinya saya kira memang saya yang salah. Tapi lama-lama karena sangat sering saya jadi merasa ada yang tidak beres.

Tadinya saya bekerja. Kemudian setelah 2 tahun menikah, saya hamil, suami melarang bekerja agar fokus mengurus anak dan rumah. Penghasilannya cukup besar sehingga secara materi kami dipenuhi. Memang saya akui dia tidak pernah melakukan kekerasan seperti main tangan. Namun perlakuannya yang semena-mena itu  membuat saya sakit hati. Tapi saya hanya bisa diam. Apalagi suami kalau di depan keluarga bisa bersikap sangat manis dan pandai bicara, sehingga keluarga besar menyukainya, bahkan keluarga saya. Rasanya jadi kalau ada apa-apa saya yang salah.

Waktu anak saya berumur 3 tahun, saya pernah terkejut karena di lemari kami saya mendapati majalah porno, tetapi dengan gambar pria-pria. Itulah pertama kali saya mulai curiga. Suami saya memang sering keluar malam, atau pergi keluar rumah dengan beberapa teman laki-lakinya selama beberapa hari. Kemudian saya mulai sering mengamati sosial medianya, memang dia punya banyak teman laki-laki dengan interaksi yang mencurigakan. Saya kemudian mulai mencari informasi dari teman-teman lamanya, tapi tidak ada yang mau buka mulut. Suatu hari saya konfrimasi ke keluarganya, ada salah satu keponakannya yang keceplosan ngomong, “memangnya dia masih...,” tapi langsung dipotong oleh mertua saya. Keponakannya menutup mulut dan menggeleng. Mertua saya mengatakan bahwa saya hanya mengada-ada dan wajarnya rumah tangga ada masalah, tidak perlu dibesar-besarkan.

Tapi kejadian itu sangat membekas bagi saya. Saya semakin sakit hati, merasa dimanfaatkan untuk melahirkan anak, membesarkan, dan berhenti bekerja, yang pada usia saya yang sekarang tentu sudah sulit mencari pekerjaan dibanding dulu. Termasuk sakit hati pada keluarga besar suami saya. Saya merasa dimanfaatkan saja. Dulu ketika menikah, saya semacam didesak oleh keluarganya untuk menerimanya. Sekarang ketika ada masalah seperti ini, keluarganya pasang badan membela anaknya dan tidak peduli pada perasaan saya.

Dengan keberanian yang tersisa, sekitar satu tahun yang lalu saya mengkonfirmasi secara langsung pada suami. Dia marah besar. Menuduh saya menfitnah, dan macam-macam lagi. Sejak itu dia tidak pernah lagi bicara pada saya, dan malah menebar kabar macam-macam ke keluarga saya, bahkan ke gurur-guru sekolah anak saya, bahwa saya berselingkuh. Nafkah pun dia hentikan, dan diserahkan ke tantenya untuk memenuhi kebutuhan anak saya saja. Saya jadi kelabakan, saya berusaha jualan makanan, tapi hati ini terlanjut sakit. Apalagi dengan desas-desus yang dia sebarkan, saya jadi tidak percaya diri. Anak saya lama-lama juga termakan omongan keluarga, bahkan bilang di depan saya bahwa saya jahat sama ayahnya. Mohon solusi apa yang sebaiknya saya lakukan?

Ibu S di Kota M

JAWABAN:

Salam Ibu S, kami ikut sedih dengan situasi yang menimpa Ibu. Karena hal ini merupakan suatu permasalahan yang sensitif, kita perlu cermat dan berhati-hati dalam menentukan strategi ke depan. Apa yang Ibu S alami merupakan bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan tersebut berbentuk kekerasan psikis, yaitu segala perbuatan yang megakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis yang Ibu alami adalah mendapatkan caci maki, umpatan, dugaan penipuan terkait orientasi seksual yang sebenarnya, serta fitnah bahwa Ibu melakukan perselingkuhan. Selain kekerasan psikis, Ibu juga mengalami bentuk kekerasan berupa penelantaran rumah tangga, yaitu dengan mengekang kebebasan untuk bekerja sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi dan berada di bawah kendali suami, bahkan tidak memberikan nafkah padahal menurut hukum yang berlaku dan kesepakatan berdua bahwa suami yang akan memberikan penghidupan.

Dampak dari permasalahan KDRT ini tidak Ibu alami secara fisik, namun lebih ke dampak psikologis dan ekonomi. Hal ini mempengaruhi keberdayaan Ibu dalam menghadapi masalah dan membuat keputusan di kemudian hari. Salah satu yang perlu dilakukan adalah melakukan pemulihan psikologis. Apabila sulit memulihkan diri sendiri, Ibu dapat menghubungi ahli psikologi atau lembaga penyedia layanan pendampingan untuk perempuan dan anak seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah yang ada di setiap kabupaten/kota dan propinsi, ataupun lembaga non pemerintah seperti Rifka Annisa. Di lembaga ini ada konselor atau psikolog yang dapat membantu Ibu melakukan pemulihan psikis serta mendampingi Ibu mendiskusikan jalan keluar dari permasalahan ini.

Pemulihan ini penting agar Ibu lebih mudah mengumpulkan dan menyerap informasi yang benar seluas-luasnya, agar dapat memandang permasalahan secara komplit, menentukan strategi yang tepat, dan terutama adalah melakukan tindakan yang strategis. Semua pilihan ada konsekuensinya, seperti pilihan melanjutkan pernikahan, bercerai, atau jika Ibu membuat pilihan menempuh jalur hukum. KDRT merupakan delik aduan yang dapat dipidanakan jika Ibu mengadukan ke kepolisian. Karena bentuk kekerasannya psikis, maka perlu pembuktian bahwa ada dampak secara psikologis. Ibu akan menjalani pemeriksaan visum psikiatrikum yang dilakukan oleh psikiater sebagai alat bukti hukum.

Sanksi hukum dapat menjadi pembelajaran bagi suami atas tindakan kekerasan yang telah dia lakukan. Konsekuensi atas proses hukum ini, diantaranya adalah Ibu harus siap menjalani proses hukum di kepolisian, kejaksaan, hingga sidang di pengadilan, yang mana itu cukup memakan waktu. Selain itu, Ibu akan berhadapan dengan suami maupun keluarganya yang kemugkinan besar tidak setuju dengan proses tersebut. Di sinilah pentingnya Ibu memahami informasi yang benar dengan sebaik mungkin. Karena dengan informasi tersebut, Ibu dapat membuat rencana dan melakukan tindakan yang tidak gegabah. Termasuk informasi lain yang seluas-luasnya, misalnya tentang perkembangan anak, informasi kesehatan reproduksi, informasi layanan, dan sebagainya.

Berkaitan dengan permasalahan orientasi seksual suami, Ibu perlu menyadari bahwa selama ini yang Ibu pikirkan baru sebatas dugaan. Bisa jadi benar, bisa jadi juga tidak benar. Kalaupun benar bahwa dia sebenarnya penyuka sesama jenis, maka perlu dipahami bahwa hal tersebut ditentang dalam keyakinan berbagai pemeluk agama, serta di lingkungan sosial budaya kita masyarakat Indonesia. Sehingga bisa jadi dia mendapat tekanan sosial yang cukup besar dari keluarga maupun lingkungannya, hingga akhirnya memutuskan menikah, dan akibatnya adalah melakukan kekerasan terhadap Ibu. Perilaku kekerasan yang dia lakukan pada Ibu tetap salah, namun perilaku ini merupakan akibat dari sebab tekanan yang dia alami.

Ada baiknya Ibu lebih berfokus pada pemulihan dan penguatan psikologis pada diri Ibu sendiri terlebih dahulu. Selain untuk diri sendiri, kondisi Ibu yang stabil juga dibutuhkan oleh anak Ibu. Dia juga terdampak atas konflik yang dialami kedua orang tuanya. Kondisi yang stabil akan membantu Ibu untuk memikirkan strategi komunikasi yang lebih baik dengan suami. Dengan strategi yang tepat, Ibu dapat mengkomunikasikan masa depan dari relasi pernikahan ini. Begitupun untuk membangun kemandirian ekonomi yang Ibu butuhkan.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Jika perlu berkonsultasi lebih lanjut Ibu dapat menghubungi kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

 

Harian Jogja, 23 Juni 2018

Read 13217 times