Rabu, 06 Februari 2019 19:43

Rilis Pers Penyelesaian Kasus Agni

Kami sangat keberatan, menolak, dan terganggu dengan penggunaan diksi “damai” di berbagai media massa, sebab hal tersebut menjadi pemicu anggapan bahwa Agni menyerah dengan perjuangannya. Kemudian menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan Agni mengusahakan kebenaran dan keadilan untuk dirinya, dan membuat capaian-capaian perubahan yang dibuat oleh Agni dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil. Keyakinan kami bahwa kejadian yang dialami Agni adalah kekerasan seksual yaitu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dari korban kekerasan.

Dalam proses pendampingan bagi perempuan penyintas kekerasan, kami mengedepankan prinsip-prinsip pendampingan seperti, keamanan dan keselamatan bagi perempuan penyintas, empowerment dan self determination/pengambilan keputusan oleh penyintas kekerasan. Bahwa tujuan utama dalam proses pendampingan adalah terpenuhinya rasa keadilan bagi penyintas kekerasan. Untuk mencapai hal ini maka suara penyintas menjadi sangat penting untuk didengarkan.

Pilihan penyelesaian kasus non-litigasi yang diambil oleh Agni dan Tim Hukum pada hari Senin, 4 Februari 2019 merupakan pilihan yang tidak mudah diambil. Kata “damai” yang menjadi topik pemberitaan di beberapa media memicu anggapan bahwa Agni menyerah dengan perjuangannya. Berbagai pemberitaan ini lantas terkesan menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan yang telah ditempuh Agni untuk mengusahakan kebenaran dan keadilan bagi dirinya. Akibatnya, perubahan yang berusaha dicapai oleh Agni dan gerakannya selama hampir satu setengah tahun seolah tampak tak membuahkan hasil.

Karenanya, kami merasa penting untuk menjabarkan apa yang terjadi sesungguhnya dan potensi-potensi apa yang dihadapi Agni ke depan agar kita semua dapat melihat kasus ini dari perspektif penyintas. Ruang-ruang perjuangan yang harus dihadapi oleh Agni akan kami jelaskan sebagai berikut:

  1. Sejak awal, Agni telah berjuang agar kasus kekerasan seksual ini dapat ditangani oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) Universitas Gadjah Mada. HS telah mengakui perbuatannya di depan teman-teman setim KKN-nya dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) melalui telepon. Sampai September 2017, Agni belum memperoleh kejelasan mengenai penyelesaian dan rekomendasi apa yang diberikan DPkM kepada HS melalui Fakultas Teknik. Pada Oktober 2017, Agni menemui kenyataan bahwa ia mendapatkan nilai KKN C dan perlu waktu 1 tahun untuk berjuang hingga pada tanggal 14 September 2018 nilai KKN Agni dipulihkan menjadi A/B.
  1. Tim Investigasi Rektorat UGM—yang belakangan diketahui sebenarnya bernama Tim Evaluasi KKN-PPM 2018 berdasarkan SK Rektor Nomor 795/UN1.P.III/SK/HUKOR/2018—dibentuk dari tanggal 20 April 2018 sampai 20 Juli 2018 untuk mencari fakta tentang kasus yang dialami Agni. Sampai saat ini, Agni belum mendapatkan salinan hasil Tim Investigasi, bahkan Agni hanya diminta mendengarkan hasilnya dibacakan saja dan di dalamnya terdapat kesimpulan bahwa telah terjadi pelecehan seksual.
  1. Berdasarkan informasi dari situs web wisuda UGM nama HS terdaftar dalam daftar wisudawan bulan November 2018 sementara belum ada kejelasan tindak lanjut Tim Investigasi. Akhirnya wisuda HS dibatalkan sampai kasus ini selesai.
  1. Penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Maluku pada tanggal 19 November 2018 yang berlangsung selama 12 jam telah menyebabkan Agni kembali mengalami depresi;
  1. Adanya Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 adalah langkah tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas. Pertimbangan utama kami akhirnya memilih penyelesaian non-litigasi adalah kondisi psikis Agni Perkembangan kasus hukum semakin melemahkan posisi Agni, mulai dari berita acara pemeriksaan Agni, informasi yang kami terima dari pemeriksaan saksi-saksi, permintaan dari Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap Agni yang kami tolak karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama, hasil pemeriksaan psikologi Agni dan tidak adanya tanggapan tehadap permohonan visum psychiatricum

    Kasus semakin berkembang karena perbedaan definisi perkosaan yang terdapat di dalam pemberitaan di Balairung yang menggunakan term dalam website Komnas Perempuan dengan definisi perkosaan sesuai Pasal 285 KUHP. Selain itu Polda juga menyatakan adanya ketidaksesuian fakta di lapangan, bahwa lokasi kejadian dekat dengan permukiman dan tidak banyak binatang liar, serta pondokan putri berjarak hanya 50 meter dengan pondokan putra. Padahal, yang dimaksud Agni sejak awal dan disampaikan juga oleh laporan Balairung sebagai jarak yang jauh adalah jarak dari pondokan Agni ke pondokan salah seorang teman perempuannya, dan di lokasi tersebutlah terkadang ada babi hutan. Pernyataan tersebut mengarah pada indikasi Balairung menyebarkan berita bohong artinya, ada tendensi bahwa Balairung juga akan dikriminalisasi. 

    Kemungkinan SP3 yang kami antisipasi pada akhirnya semakin jelas berdasarkan kutipan pemberitaan media Kapolda DIY pada hari Selasa (5/2/2019) yang menyatakan kepada wartawan bahwa, “Kan hasilnya kemudian di antara mereka (HS dan korban) sendiri ternyata berdamai, itu yang kita harapkan, karena perkosaan tidak ada, dan pelecehan tidak ada.” 

    Bertambah besarnya kemungkinan SP3 dan tendensi kriminalisasi baik untuk Agni maupun pihak lain (Balairung) menjadikan proses ini semakin jauh dari rasa keadilan Agni. Kami mempertimbangkan akibat dari proses ini terhadap Agni dan pada Balairung.
  1. Pada tanggal 21 Januari 2019, Agni diberi tahu hasil kerja Komite Etik dimana dari 7 orang anggota komite etik, 4 orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual, yang terjadi adalah perbuatan asusila dan menolak mengkategorikannya sebagai pelanggaran sedang atau berat. Namun terdapat anggota Komite Etik lainnya mengeluarkan dissenting opinion yang menyatakan bahwa kasus tersebut adalah pelecehan seksual dan pelanggaran berat. Kesimpulan “tindak asusila” sangat melukai rasa keadilan Agni, karena di awal pertemuan Agni dengan Komite Etik, Agni dijanjikan penyelesaian yang berperspektif dan berkeadilan gender. Kondisi ini hanya mempertegas adanya budaya victim blaming.

    Perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi Agni. Kami menyadari bahwa semua pilihan penyelesaian memiliki resikonya maisng-masing. Karenanya, kami berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi Agni, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak Agni.

Perkembangan kasus yang semakin hari menjadi semakin tidak jelas justru berpotensi memperbesar tekanan psikis bagi Agni. Kami menyadari bahwa semua pilihan penyelesaian memiliki resikonya maisng-masing. Karenanya, kami berdiskusi untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang resikonya paling minimal bagi Agni, memenuhi rasa keadilan dan mengutamakan perlindungan hak-hak Agni.

Beberapa poin capaian perjuangan dari sisi Agni dalam kasus ini adalah:

  1. Penyelesaian non litigasi ini menjadi solusi yang lebih mampu menjamin pemulihan hak-hak penyintas dan mencegah terjadinya tendensi kriminalisasi terhadap Agni maupun jurnalis Balairung Press;
  1. Draft kesepakatan penyelesaian mengacu pada Laporan Polisi Nomor LP/764/ XII/2018/SPKT tertanggal 9 Desember 2018 dimana di dalamnya terdapat posisi HS, Agni dan dugaan tindak pidana yang dilaporkan yaitu pemerkosaan dan pencabulan;
  1. Permintaan maaf telah dinyatakan HS kepada Agni dengan disaksikan oleh Rektorat UGM. HS juga diharuskan mengikuti mandatory counselling agar terjadi perubahan perilaku, sementara kelulusan HS akan ditunda hingga psikolog klinis menyatakan HS tuntas melakukan konseling;
  1. Hak- hak Agni sebagai penyintas dengan jelas dijamin pelaksanaannya dalam kesepakatan;
  1. Adanya klausul perbaikan sistem mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih jelas definisi, tahapan penanganan dan sanksi terhadap pelaku serta penanganan dan pemulihan hak-hak penyintas terjadi di UGM agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi dalam kesepakatan penyelesaian;
  1. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga telah melakukan penyusunan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat Fakultas, sembari mengupayakan penyelesaian terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelumnya;
  1. Membangkitkan kepedulian, dukungan, dan gerakan dari masyarakat untuk mendorong penyelesaian kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang kerap tidak tuntas dan mengabaikan pemenuhan hak-hak penyintas.
  1. Pihak UGM wajib memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian studi setara dengan komponen dalam beasiswa BIDIK MISI (UKT dan Biaya Hidup) kepada AGNI

Kami berharap penjelasan dari perspektif Agni ini dapat memberikan pemahaman dan membuka mata masyarakat betapa besar resiko yang harus dihadapi seorang penyintas kekerasan seksual dalam memperjuangkan penyelesaian kasus yang dialaminya. Agni telah berusaha memperjuangkan keadilan dengan berani dan tangguh selama satu setengah tahun lebih. Keputusan penyelesaian non-litigasi diambil karena situasi saat ini semakin tidak menguntungkan bagi Agni dan memperkecil kemungkinan Agni untuk memperoleh keadilan. Perjuangan untuk mengajukan poin-poin kesepakatan yang berperspektif penyintas, mendudukan posisi penyintas secara benar dan pemakaian diksi-diksi dalam kesepakatan penyelesaian tersebut juga bukan hal yang mudah.

Kami memohon kepada semua pihak, terutama media massa, untuk tidak menyederhanakan seluruh proses dan capaian perjuangan Agni dengan menggunakan diksi “berakhir damai” karena hal ini memperburuk kondisi psikis Agni. Perjuangan Agni belum selesai.

Kami masih membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk memastikan, mengawal dan memantau proses penyelesaian agar setiap poin kesepakatan dapat terlaksana dengan baik. Agni saat ini membutuhkan dukungan semua pihak untuk dapat memulihkan kondisi psikisnya, lebih berdaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya, serta menuntaskan kuliahnya. Mari kita lanjutkan perjuangan Agni dan terus mendukung Agni yang telah banyak berkontribusi bagi perbaikan sistem penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan.

Disusun oleh: Rifka Annisa dan Tim Kuasa Hukum Agni

Selasa, 29 Januari 2019 13:21

Tetangga Mendidik Anak dengan Kekerasan

Dear Ibu pengasuh Rifka Annisa, 

Perkenalkan saya Ibu Marni. Saya punya tetangga yang punya anak perempuan ABG, remaja yang baru masuk SMA. Ayahnya itu tidak suka melihat anaknya pacaran. Tapi cara melarangnya menurut saya keterlaluan juga, anaknya dibentak sampai dipukul, pernah saya lihat sampai dipukul kepalanya pakai sandal gunung. Tapi diperlakukan seperti itu anaknya malah semakin ngelunjak, sering bepergian wira-wiri sama pacarnya. Sebagai tetangga, saya sebaiknya bagaimana ya? Saya juga tidak setuju anaknya pacaran, tapi juga tidak setuju cara ayahnya memperlakukan anak. Cuma untuk menegur saya juga nggak enak karena itu urusan keluarga mereka. Mohon pencerahannya, terimakasih. 

JAWAB 

Salam Ibu Marni, terimakasih telah berbagi cerita dengan kami. Salah satu tugas perkembangan tahap remaja adalah ada ketertarikan dengan lawan jenis. Sehingga ketika remaja merasakan jatuh cinta, merupakan hal yang normal dan wajar. Hanya saja, mereka butuh bimbingan dan pendampingan tentang bagaimana mengekpresikan perasaan tersebut dalam perilaku yang tidak menimbulkan resiko baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitar. 

Sayangnya tidak semua orang dewasa di sekitarnya termasuk orang tua, dapat menyikapi tahapan tersebut dengan bijaksana. Seringkali orang tua terlalu mencemaskan bahwa jatuh cinta pada lawan jenis bermakna negatif karena selalu dikaitkan dengan perilaku seksual. Hal ini membuat remaja tidak memiliki tempat untuk membahas dan mendiskusikan hal tersebut secara wajar, sehingga belajar mengekspresikan atau menyalurkan hal tersebut melalui apa yang dia konsumsi dari lingkungan sekitar. Misalnya, tontonan film, televisi, perilaku teman sebaya, dan sebagainya, yang kemudian membuat anak terjerumus pada perilaku yang beresiko. 

Padahal ada pilihan perilaku yang lain. Misalnya, menjalin hubungan sebatas pertemanan saja, dan dia tetap diterima dan dicintai. Mengungkapkan, dan membuat komitmen yang sifatnya positif, misalnya saling mendukung dalam hal prestasi. Ataupun tidak perlu mengungkapkan sekarang, menunggu saat yang tepat jika sudah dewasa, dan sebagainya. Remaja akan memperoleh alternatif pilihan perilaku yang beragam dan lebih sehat. Terlebih jika ada orang dewasa yang dapat diajak membicarakan situasi tersebut tanpa menghakimi, dia akan mendapat pemenuhan rasa diterima dan dicintai, sehingga tidak mencari pemenuhan kebutuhan tersebut dari orang lain yang bisa jadi malah tidak bertanggung jawab. 

Jika Ibu cukup dekat dengan orang tuanya, dapat memberi masukan bahwa cara kekerasan dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak, misalnya ketidakseimbangan antara kemampuan sosial, emosional, dan kognitif, sehingga menimbulkan perilaku bermasalah. Dari reaksi anak yang Ibu ceritakan, anak bukannya takut, tapi malah membenci figur orang tua dan mencari pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang di luar rumah. Strategi yang lain adalah Ibu dapat mencari keluarga atau sahabat dari tetangga tersebut untuk dimintai tolong memberi masukan, atas dasar apa yang Ibu saksikan sehari-hari. 

Menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap warga negara yang masih berada di bawah usia 18 tahun adalah anak. Setiap orang yang melakukan kekejaman, 

kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). Artinya, pelaku kekerasan terhadap anak juga dapat diancam hukuman pidana dan diproses secara hukum. Informasi ini juga perlu diketahui oleh orang tua si anak, agar tidak memposisikan dirinya menjadi pelaku kejahatan terhadap anaknya sendiri. 

Selain pendekatan pada orang tua, anak juga membutuhkan pendampingan. Ibu dapat menjadi teman bagi si anak untuk berbagi cerita sehari-hari. Memberi dukungan psikologis yang dia butuhkan, dan terutama memberikan bimbingan dan pendampingan atas pilihan perilakunya dalam menghadapi dinamika masa remaja tersebut. Dukungan dan penerimaan ini sangat dibutuhkan untuk melepaskan ketergantungan psikologis dia pada figur yang kurang tepat, misalnya pacar. 

Apabila diperlukan, anak dapat dihubungkan dengan konselor yang lebih ahli. Dapat minta bantuan lebih lanjut pada psikolog atau lembaga layanan konseling terdekat, ataupun lembaga layanan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah yang terdapat di setiap kabupaten, kota, maupun propinsi. 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor telepon Rifka Annisa (0275)553333 atau hotline dinomor 085100431298 atau 085799057765, atau datang langsung ke kantor Rifka Annisa di Jalan Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta. Terimakasih.

Senin, 28 Januari 2019 14:51

Perlindungan Hukum Asisten Rumah Tangga

Salam Ibu, 

Perkenalkan, nama saya Wati, pekerjaan saya sebagai asisten rumah tangga (ART). Saya ingin menanyakan, apakah pekerjaan seperti kami ini dilindungi hukum? Karena saya melihat ada teman sesama ART, berinisial N, yang dipukuli oleh majikannya. Apakah wajar jika ada yang salah dalam pekerjaannya, ART tersebut kemudian memang boleh dipukul? Jika tidak, apakah memungkinkan N melaporkan pada polisi? Terimakasih atas penjelasannya. 

JAWAB

Salam Ibu Wati, 

Setiap orang yang berada di Indonesia dilindung oleh hukum. Perlindungan ini termasuk terlindungi dari perbuatan-perbuatan orang lain yang membuat seseorang merasa tidak nyaman atau dirugikan. Pemukulan yang dialami oleh N adalah salah satu bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik. Tidak pemukulan tersebut dapat dilaporkan ke kepolisian. 

Berdasarkan Pasal satu (1) angka satu (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUP KDRT), menyebutkan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 

Selanjutnya Pasal 12 ayat 1 UUP KDRT menyebutkan bahwa orang-orang dalam lingkup rumah tangga meliputi : (1) Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan besan); (3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (asisten rumah tangga). 

Berdasarkan penjelasan di atas, N termasuk dalam lingkup rumah tangga, dan berhak untuk melaporkan majikan ke kepolisian dengan adanya KDRT dalam betuk kekerasan fisik. N dapat melaporkan majikan di kantor polisi yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Untuk melaporkan hal tersebut, dibutuhkan minimal 2 alat bukti. Alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan untuk meyakinkan hakim tentang suatu perbuatan pidana. Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan patokan hukum bahwa yang dimaksud alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Saksi yakni seseorang yang melihat, mendengar, atau merasakan secara langsung perbuatan pidana pemukulan yang dilakukan oleh majikan. 

Jika terjadi pemukulan kembali, N sebagai korban kemungkinan akan ragu-ragu atau berpikir panjang untuk melapor ke polisi. Hal yang dapat dilakukan adalah segera lakukan pemeriksaan ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, dan minta ditangani oleh dokter. Hal ini berfungsi selain untuk kesegeraan pengobatan juga untuk mengamankan barang bukti, sebelum akhirnya N mantap melaporkan perkara. Saat pemeriksaan, dapat disampaikan pada dokter yang menangani bahwa mungkin nanti akan dipergunakan untuk keperluan hukum. Pada saat N sudah mantap melapor, sampaikan ke penyidik bahwa telah melakukan pemeriksaan, agar penyidik meminta laporan visum pada dokter yang bersangkutan sebagai alat bukti. Visum hanya dapat dibuat dengan permintaan kepolisian, dan hanya dapat diambil oleh kepolisian. 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor telepon Rifka Annisa (0275)553333 atau hotline dinomor 085100431298 atau 085799057765, atau datang langsung ke kantor Rifka Annisa di Jalan Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta. Terimakasih

Jumat, 11 Januari 2019 10:28

Agni Siap Hadapi Proses Hukum

ok min

 

Yogyakarta Rifka Annisa bersama Tim Kuasa Hukum Agni menggelar konferensi pers (10/1) terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya-red), mahasiswi Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2017 lalu.

 Dalam keterangan persnya, Tim Kuasa Hukum Agni menjelaskan bahwa penyintas siap menghadapi proses hukum. Kendati demikian, selama ini penyintas tidak pernah berkeinginan untuk melaporkan kasus ini ke kepolisian. Alasannya, selama ini penyintas banyak mendapatkan tekanan dan tendensi negatif dari berbagai pihak di UGM.

“Sebenarnya Rifka Annisa dan pihak rektorat UGM dulu sudah menyepakati tidak akan melaporkan kasus ini ke kepolisian, sebagaimana yang diinginkan oleh korban. Oleh karena itu, kami sangat menyayangkan sekali mengapa ada pihak dari UGM yang akhirnya malah melaporkan kasus ini ke Polda DIY tanpa konsultasi dulu pada korban,” jelas Suharti, Direktur Rifka Annisa WCC.  

Menurut Tim Kuasa Hukum Agni dan Rifka Annisa, saat ini tidak ada pilihan lain selain terus memperjuangkan kasus ini sehingga penyintas dapat memperoleh keadilan. Mereka juga berharap agar kasus ini tidak sampai dihentikan penyidikannya (SP3) karena akan memberikan preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual lainnya.

“Harapannya kasus ini tidak sampai SP3 dan diusut hingga tuntas sehingga bisa menjadi contoh bagi kasus-kasus yang lain. Harapannya ini juga bisa mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar bisa segera disahkan,” jelas Catur Udi Handayani, ketua Tim Kuasa Hukum Agni.

Suharti menjelaskan, proses hukum bagi korban kekerasan seksual seringkali menemui berbagai tantangan. Pertama, perspektif aparat penegak hukum yang seringkali bias gender dan justru malah menyalahkan korban. Kedua, korban masih dalam kondisi traumatis sehingga sulit untuk mengambil keputusan. Ketiga, bukti-bukti fisik sudah hilang karena biasanya korban tidak langsung melaporkan kekerasan yang dialaminya.

Penyintas menolak melakukan visum et repertum karena bekas luka fisik sudah hilang mengingat waktu kejadian yang sudah terlalu lama. Meskipun demikian, penyintas mengajukan permohonan untuk melakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak psikologis dari peristiwa kekerasan tersebut masih membekas hingga saat ini.

Rifka Annisa dan tim kuasa hukum akan bekerja sama mendampingi korban agar kondisi psikologis penyintas tidak semakin buruk.

“Tentunya kami akan mempersiapkan Agni agar siap menghadapi proses hukum. Rifka Annisa akan membantu pendampingan psikologisnya, dan kami akan mendampingi proses secara hukum, memberikan gambaran kepada penyintas mengenai proses apa saja yang akan dijalani dan gambarannya seperti apa,” jelas Catur Udi Handayani.

Meskipun saat ini proses hukum sedang berjalan, Rifka Annisa tetap mendorong UGM agar segera memenuhi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam rekomendasi Tim Investigasi, diantaranya pemulihan psikologis dan pembebasan biaya kuliah hingga penyintas lulus.

“Penanganan kekerasan seksual selama ini hanya fokus pada hukuman bagi pelaku, sementara pemenuhan hak korban seringkali terabaikan. Karena itu kami mendorong pihak UGM segera memenuhi rekomendasi dari Tim Investigasi sehingga hak-hak korban bisa terpenuhi,” jelas Suharti.

Rifka Annisa in collaboration with UNFPA conducted a study in three NTT (East Nusa Tenggara) districts (Alor, Manggarai, TTS), one city (Kupang), and four districts in Papua (Jayapura, Keerom, Jayawijaya, Merauke). This research was conducted in August 2011 for approximately twenty days. The agencies involved in this study included the police (personnel, police stations, police offices), the Centre for Women and Children’s Services, NGOs, marriage counseling and divorce settlement bodies, Organization for Religion, health centres, hospitals, Organization for Social Development and Children’s Health, and each province’s office of marriage regulations. The results have been positive, for the efforts have helped in execution of preferred family and customary laws by victims and local service agencies. Unfortunately there has not yet been a mechanism set in place to assist with the application of customary law into positive law enforcement protocol. Policymaking efforts are weak in addressing violence against women and children. In some areas, women's empowerment organizations have still not incorporated certain policies and therefore negatively influence coordination efforts. Conclusions drawn from this study emphasize the importance of building inter-agency synergy between existing services and organizations in order to provide the necessary resources and facilities for victims.

41857427
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7664
21820
37763
186090
41857427