Print this page

Derita di Pengungsian

Written by  Kamis, 28 Jun 2018 14:55
Rate this item
(0 votes)

Para pengungsi, terutama perempuan dan anak, masih berada dalam penderitaan. Pasca tragedi tsunami, saat mereka harus berjuang dengan trauma, pada waktu yang sama mereka juga harus berhadapan dengan bahaya lain yang mengintai.

Kekerasan, pelecehan seksual, hingga persoalan kesehatan menjadi "bencana" lain yang tak kalah mengerikan.

Kasus:

"Halo Rifka Annisa, saya seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Dulu pernah bekerja sebelum menikah, tetapi karena pertimbangan anak-anak, saya hanya menjadi ibu rumah tangga saja selama ini. Tetapi, bukan persoalan itu yang ingin saya utarakan.

Saya sekeluarga hidup di sebuah kompleks perumahan di mana satu rumah dengan rumah yang lain saling berdekatan. Belakangan ini, tetangga di sebelah rumah saya sering mengeluh ke saya. Pasalnya, di rumahnya hampir satu bulan terakhir menampung saudara perempuan dari pihak suami beserta anaknya. Mereka adalah korban tsunami. Minggu-minggu pertama setelah kejadian menjadi pengungsi. Suami dan anaknya yang lain beserta keluarga suaminya hilang.

Tetangga saya mengeluh karena bingung bagaimana menghadapi saudaranya tersebut. Kalau malam suka teriak-teriak dalam tidur, kami sendiri tahu karena suaranya terdengar sampai ke rumah kami. Selain itu sukanya melamun atau menangis sendiri. Sempat ada pikiran, jangan-jangan saudaranya tersebut perlu dibawa ke dokter jiwa, tetapi ia dan suaminya takut menyinggung perasaan saudaranya tersebut.

Saya sendiri sampai saat ini masih suka sedih kalau melihat berita-berita di media tentang bencana tersebut meski sudah tidak segencar dulu. Pada minggu-minggu pertama setelah kejadian, saya malah tidak berani melihat televisi, soalnya ingin menangis terus kalau melihat bagaimana penderitaan akibat bencana itu. Belum selesai soal Aceh, setelah itu Nias.

Saya suka membayangkan, bagaimana nasib mereka selanjutnya. Terutama anak-anak yang kehilangan orangtua serta saudaranya, menjadi putus sekolah. Saya belum pernah melihat secara langsung kehidupan di pengungsian, tapi belakangan ini pikiran saya suka terusik. Mungkin karena saya perempuan ya, jadi bisa membayangkan saja bagaimana susahnya hidup di tempat yang ala kadarnya seperti itu, sementara kita tahu kehidupan perempuan lebih rumit.

Bagaimana kalau sedang menstruasi sementara mungkin air berebutan, belum lagi kalau sedang hamil menjelang melahirkan, merawat anak yang kecil-kecil. Dalam sebuah ceramah, saya pernah mendengar kalau kekerasan pada anak dan perempuan juga terjadi di pengungsian. Kenapa orang-orang itu masih tega berlaku tidak adil, padahal situasi para korban ini memprihatinkan. Saya kasihan aja dengan ibu-ibu yang terpaksa menjadi janda dan harus menghadapi semua ini sendirian, serta anak-anak yang kehilangan orangtua. Rasanya hanya sedih dan sedih, tetapi saya tidak dapat berbuat apa-apa. Maaf kalau saya hanya ingin berkeluh kesah saja."

(NN, di Bandung)

Jawaban:

Halo Juga Ibu NN

Setahu kami, hampir semua orang yang mendengar bencana besar akhir tahun kemarin mempunyai perasaan seperti Anda.

Salah seorang rekan kami yang kebetulan rumahnya dekat pantai selatan wilayah Yogyakarta bahkan sempat mengalami ketakutan, khawatir kalau-kalau laut di dekatnya juga mengalami tsunami. Pada waktu malam dia susah tidur, deburan ombak laut terdengar lebih jelas dari pada biasanya. Ia merasa indranya lebih waspada sehingga dalam beberapa waktu, rekan kami mengalami kecemasan.

Seorang rekan lain yang kebetulan bekerja di perusahaan ikan juga mengaku menjadi takut karena pabriknya hanya berjarak 20 meter dari pantai. Padahal sudah delapan tahun lebih dia bekerja di tempat itu.

Ini adalah gambaran kecil bagaimana satu bencana besar di satu tempat, dampak traumanya memengaruhi orang-orang di tempat lain. Orang-orang yang tidak mengalami bencana secara langsung ini dikatakan mengalami "trauma sekunder". Kita dapat membayangkan bagaimana "trauma primer" yang diderita para korban yang mengalami bencana tersebut secara langsung.

Perlu dipahami bahwa "trauma" merupakan reaksi yang wajar ketika seseorang ataupun masyarakat secara bersamaan mengalami kejadian sangat mengejutkan, mendadak, menakutkan, mencekam, dan menyebabkan kehilangan atau kesakitan. Pengalaman semacam itu merupakan sesuatu yang luar biasa sehingga mengguncang kondisi kejiwaan seseorang dan wajar ketika menimbulkan gejala psikis tertentu seperti yang Ibu saksikan.

Gejala tersebut akan tampak setidaknya dalam jangka 1-3 bulan pascakejadian dan setelah itu akan hilang atau mereda. Hanya saja, pada orang-orang tertentu, baik karena kondisi psikisnya yang memang "lemah" atau karena kurangnya penanganan psikologis pascakejadian, maka gejala tersebut terus berlangsung dan bahkan dapat lebih parah.

Trauma ditandai oleh gejala-gejala seperti teringat kejadian terus-menerus, gangguan tidur dan munculnya mimpi-mimpi buruk, gangguan makan, perasaan kosong/hampa, atau bahkan sangat sensitif, seperti mudah tersinggung dan menangis, kesiagaan yang terus-menerus kalau-kalau kejadian itu akan berulang kembali sehingga indra lebih peka terhadap stimulus dari luar, perasaan tidak tersambung dengan realitas, juga timbulnya gangguan/keluhan fisik.

Mengenai gambaran kondisi para perempuan dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi di kamp pengungsian memang tidak jauh dari yang Anda bayangkan. Kesulitan para ibu yang kehilangan suami dalam mengakses fasilitas di kamp juga menjadi persoalan tersendiri. Belum lagi peran baru mereka yang terpaksa menjanda, menjadi "incaran" oknum-oknum tertentu di mana situasi ini berpotensi untuk terjadinya kekerasan.

Seorang anak remaja perempuan di salah satu kamp pengungsian juga mengaku beberapa kali dilecehkan secara seksual oleh sekelompok pemuda. Mereka suka menggoda dia saat akan ke kamar mandi sehingga ia takut ke kamar mandi sendiri, apalagi pada malam hari. Seorang ibu muda yang menjadi janda dengan seorang anak yang masih balita mengaku kerap ketakutan pada malam hari karena beberapa laki-laki iseng telah melubangi tendanya dengan rokok dan mengintipnya saat malam menjelang.

Sayangnya, hal-hal seperti ini belum menjadi perhatian khusus pihak berwenang, apalagi banyak kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sering kali para perempuan ini mau tidak mau harus menjaga dirinya sesuai kemampuannya dengan sarana seadanya.

Ibu NN, perasaan tidak berdaya karena telah banyak kehilangan pascabencana sangat mungkin mengubah seseorang atau masyarakat pada umumnya yang menjadi korban dalam hal perilaku, pikiran, ataupun cara pandang terhadap kehidupan. Pada intinya ada dua hal di dalam menyikapi bencana ini, yaitu bertahan untuk bangkit atau putus asa.

Anda tidak perlu merasa kecil hati karena merasa tidak dapat berbuat banyak pada situasi seperti ini. Setidaknya, empati Anda untuk famili tetangga Anda dengan menjadi pendengar atas keluh-kesahnya (kalau hal ini memungkinkan) akan membantu beliau membuat pilihan bertahan dan bangkit. Sekiranya beliau masih dapat diajak berkomunikasi seperti biasa, pelibatan dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat bersama dengan yang lain dapat menjadi cara untuk pemulihan.

Namun, sekiranya memang sudah kesulitan dalam berkomunikasi dengan beliau, tidak ada salahnya Anda menyarankan untuk mempertemukan dengan ahlinya sebagai antisipasi terjadinya kondisi yang lebih buruk. Berkonsultasi kesehatan dengan psikiater tidak selalu berarti sakit jiwa atau gila, tetapi barangkali beliau hanya butuh terapi obat untuk sementara guna membantu mengembalikan ketenangannya.

Dalam situasi sebagaimana yang terjadi pada tetangga Ibu tersebut, melakukan sesuatu yang konkret rasanya akan lebih berguna daripada sekadar belas kasihan karena yang dibutuhkan oleh para korban ini adalah dukungan sebagai penguat untuk memilih bangkit dan dampingan dalam mengelola harapan ke depan.

Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, Senin 13 Juni 2005

Read 10445 times Last modified on Kamis, 28 Jun 2018 15:12