Print this page

Stereotipe Perempuan dalam Konsep Budaya Suku Baduy: Wujud Kesetaraan Gender

Senin, 24 Agustus 2015 16:28

Judul Buku     : Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagad Baduy

Penulis          : R. Cecep Eka Permana

Penerbit        : Wedatama Widya Sastra

Tahun           : 2005

Tebal            : 88 Halaman

Buku_khalida.jpg

Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan yang berdampak pada posisi dan kondisi terhadap kelompok tertentu. Hal ini pun terkadang menimbulkan dampak negatif bagi suatu kelompok, terutama para perempuan yang terkadang mendapatkan ketidakadilan gender akibat penandaan yang melekat pada dirinya. Misalnya pelabelan bahwa perempuan adalah “ibu rumah tangga” ataupun sebagai “kanca wingking” yang pekerjaannya hanyalah mengerjakan pekerjaan domestik. Akibatnya jika mereka hendak aktif melakukan pekerjaan publik ataupun mencari nafkah yang merupakan pekerjaan laki-laki, maka akan dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Anggapan inilah yang kemudian akan melanggengkan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sehingga terjadi ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan akar permasalahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu dibutuhkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan keadaan dimana laki-laki dan perempuan memiliki peran dan fungsi yang sama baik di sektor ekonomi, politik maupun domestik. Dengan demikian akan menetralisir kekuasaan dan terjalin hubungan yang stabil dan dinamis dalam masyarakat.

          Dalam buku ini menjelaskan bagaimana keterkaitan antara sistem kekerabatan bilateral masyarakat baduy dalam menciptakan kesetaraan gender. Sistem kekerabatan bilateral, yakni memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu). Masyarakat baduy yang dimaksud disini adalah masyarakat baduy yang berdiam di sekitar pegunungan kendeng (Banten Selatan) atau dikenal dengan sebutan masyarakat baduy dalam, meliputi kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Masyarakat baduy dalam merupakan masyarakat peladang yang masih bersifat egaliter dan menjujung tinggi tradisi nenek moyang. Dengan prinsip bilateral, masyarakat baduy dapat menetralisir kekuasaan. Sehingga peran dan fungsi laki-laki maupun perempuan dapat berjalan sejajar. Misalnya dalam kegiatan perladangan laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja menurut tugas dan tanggung jawabnya masing-masing pada ruang dan waktu yang sama. Dan dalam sektor domestik dapat dikerjakan bersama-sama baik suami maupun istri, seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak dan mengasuh anak.

          Di samping itu dalam buku ini juga mengemukakan bagaimana stereotipe perempuan dibentuk dalam konsep budaya masyarakat baduy mampu menciptakan kesetaraan gender. Konsep budaya tersebut antara lain adalah konsep ambu, konsep Nyi Pohaci dan konsep keseimbangan. Konsep ambu dalam bahasa baduy dapat diartikan sebagai ibu (perempuan) yang bersifat melindungi, memelihara, dan mengayomi seseorang atau manusia mulai dari sebelum turun ke dunia, hidup di atas dunia, setelah mati (dalam alam kubur) dan sampai di akhirat kelak (kahyangan). Kosep ambu dipersonifikasikan sebagai hubungan trasendental dalam tataran mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam hal ini mikrokosmos sebagai ibu yang memelihara, melindungi dan melayani anak-anak dan keluarga. Sedangkan makrokosmos merupakan suatu kuasa yang memelihara, melindungi, mengayomi hidup dan kehidupan manusia selama di dunia. Selain itu, konsep ambu cenderung bermakna tentang yang kudus secara lahiriah, seperti yang mengandung dan melahirkan. Oleh karena itu, sosok ambu (ibu) dalam masyarakat baduy sangat dihormati.

          Konsep Nyi Pohaci berkaitan erat dengan kegiatan perladangan (menanam padi) dan dianggap sebagai pembawa atau sumber kehidupan. Ritual bercocok tanam yang dilakukan masyarakat baduy merupakan  suatu penghormatan atau peribatan kepada Nyi Pohaci yang telah memberikannya kehidupan, secara simbolik berupa padi. Ritual bercocok tanam dilaksanakan oleh wanita, seperti mengambil padi untuk bibit, menanam, memetik dan menumbuk padi untuk menjadi nasi. Rangkaian ritual ini menyiratkan proses penting yang dilalui wanita mulai dari perkawinan, mengandung, melahirkan, menyusui sampai membesarkan anak. Tanaman padi yang subur, mengisyaratkan bahwa masyarakat baduy harus merawat tanaman padi dengan sungguh-sungguh sebagai perwujudan penghormatannya kepada Nyi Pohaci. Hal ini sebagaimana dengan perempuan yang harus dihormati, dijunjung dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya, agar mendapatkan berkah yang berupa kesuburan tanaman padinya (rezeki).

          Konsep keseimbangan berlaku dalam masyarakat baduy untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan harmonis, baik dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain, maupun manusia dengan alam lingkungannya. Konsep keseimbangan ini disimbolikan pada pikukuh aturan adat yang menyiratkan bahwa segala sesuatu harus dijaga sebagaimana adanya, tidak boleh diubah-ubah atau direkayasa. Sebab pengubahan atau perekayasaan akan berdampak negatif bagi masyarakat baduy, yang nantinya akan menimbulkan kekacauan pada diri masyarakat. Misalnya manusia tidak mencintai lingkungannya akibatnya terjadi bencana alam, manusia tidak menghargai nilai-nilai luhur akibatnya hubungan antara sesama manusia tidak harmonis. Oleh karena itu konsep keseimbangan sangat dibutuhkan masyarakat baduy, terutama dalam hubungan antara sesama manusia dan dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Keseimbangan hubungan antara sesama manusia didasarkan pada asas egaliter. Misalnya tidak ada perbedaan antara penguasa dengan rakyat biasa maupun antara orang miskin dan orang kaya. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan bangunan rumah, pakaian dan peralatan sehari-hari masyarakat baduy. Keseimbangan dalam kehidupan keluarga masyarakat baduy diwujudkan dengan penghapusan diskriminasi pekerjaan bagi pria maupun wanita, baik di rumah maupun di ladang yang merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu konsep keseimbangan masyarakat baduy sangat membantu terwujudnya kesetaraan gender.

          Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem sosial dan budaya yang diterapkan pada masyarakat baduy yakni sistem kekerabatan bilateral dan konsep- konsep budaya yang menciptakan kesetaraan gender. Sistem sosial dan budaya ini mengajarkan pada kita bahwa kesetaraan gender itu sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Karena dengan kesetaraan gender tidak akan terjadi manifestasi ketidakadilan gender, seperti marginalisasi perempuan dalam sektor ekonomi,  perempuan tersubordinasi dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe secara negatif  dan  kekerasan terhadap perempuan. Yang mana manifestasi tersebut menyulutkan kaum perempuan yang ditindas oleh kaum laki-laki. Walaupun konsep Ambu dan konsep Nyi Pohaci dalam masyarakat baduy disini terdapat stereotipe, hal ini tidak mengesampingkan wanita. Karena stereotipe tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi kaum perempuan. Dengan demikian akan terciptanya keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan keharmonisan keluarga. []

         

Khalida Noor

Relawan Humas dan Media

Last modified on Rabu, 11 Juli 2018 00:02