Minggu, 24 Jun 2018 13:35

Biasanya kita membayangkan kekerasan adalah sebentuk pemukulan atau penganiayaan. Bagaimana dengan umpatan, hinaan, ataupun sikap merendahkan? Apalagi jika itu dilakukan seorang yang kita cintai, kekasih atau pacar kita. Pacar yang hanya ingin kita menjadi boneka-nya?

Kasus:

"Saya Uli, mahasiswa semester IV sebuah PTN di Jawa Barat. Saya ingin menyampaikan persoalan kakak saya, mahasiswa di kampus yang sama dengan saya.

Kakak saya berpacaran dengan dosen muda. Rasa tertarik itu karena dosen tersebut cerdas, akrab dengan mahasiswa, dan terkenal sebagai aktivis demokrasi. Ternyata dalam proses pacaran, kakak saya diperlakukan tak lebih sebagai budak, pemanis. Maaf kalau kata-kata saya kasar. Kakak saya dipaksa berdandan mencolok dan berpakaian sangat seksi dengan alasan biar orang tahu pacar dosen tersebut cantik dan seksi. Saat sedang berkumpul dengan teman-temannya, kakak saya disuruh menunggui, tetapi tidak boleh ikut dalam diskusi dan mesti duduk manis. Persis seperti Barbie.

Pernah suatu ketika kakak saya protes dan nekat ikut dalam obrolan itu. Pak dosen mukanya ditekuk sepanjang acara dan saat pulang, kakak saya dicaci. Sering kakak direndahkan sebagai cewek enggak bermutu, cuma modal cantik tetapi otak bego, seperti tong kosong, dan sebagainya. Yang keterlaluan adalah pernyataannya bahwa kakak saya mendapat nilai bagus karena berpacaran dengan dosen itu. Padahal, saya tahu pasti sejak SD hingga SMA nilai kakak saya selalu bagus.

Saya makin kesal saat melihat kakak saya hanya diam. Ketika saya minta melawan, malah dia menangis. Kakak jadi seperti orang lain, berubah pendiam, sensitif, dan gampang menangis. Hari-hari hanya diisi kuliah dan pergi bersama dosen itu. Dia seperti kehilangan kepercayaan diri. Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih."

(Uli,Bandung)

Jawaban:

  • Dear Uli, dari ceritamu kami menyimpulkan, kakakmu terjebak dalam hubungan cinta (pacaran) yang diwarnai kekerasan psikologis.

Kami yakin kakakmu merasakan ketidaknyamanan, tetapi karena sifat kekerasan psikologis laten atau tidak tampak, maka terasa relatif sulit mengidentifikasi secara gamblang hubungan itu tidak sehat. Hal itu membuat kekerasan psikologis berbahaya karena perlahan tetapi pasti merusak kondisi psikologis sasarannya, seperti yang kamu lihat pada kakakmu.

Bahwa kejadian itu berlangsung terus, memang demikian dinamikanya, yaitu kekerasan dalam hubungan cinta bersiklus. Jadi, apabila siklus kekerasan tidak diputuskan, bukan tidak mungkin akibatnya semakin parah. Kami tidak bermaksud menakutimu, tetapi fakta menunjukkan banyak korban kekerasan psikologis berakhir penderitaannya di rumah sakit jiwa atau meninggal dunia.

Hubungan kakakmu dengan sang dosen adalah salah satu bentuk relasi tidak sehat. Tandanya, tidak ada penghargaan, ketakutan, kecemburuan, dan sifat posesif (mengekang). Pelaku menggunakan hal-hal itu untuk menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Pada titik inilah terjadi kekerasan emosional yang menurut Pamela Brewer, MSW, PhD adalah keadaan emosi yang sengaja dibuat untuk mengendalikan pasangan. Paling tidak, ada tiga elemen yang biasanya terjadi. Pertama, tekanan yang bentuknya mulai dari banyak mengkritik, berkata kasar, teriak-teriak, intimidasi, hingga cemoohan. Kedua, kekerasan berupa penyerangan baik secara fisik dan seksual. Ketiga, rayuan berupa permintaan maaf berulang serta janji tak mengulangi.

Pelaku biasanya menyalahkan korban sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas banyak hal dalam hubungan itu. Jika terjadi pertengkaran dan kemudian pelaku menghina serta merendahkan korban, biasanya pelaku akan menyalahkan korban atas pertengkaran itu dan kemudian mengatakan korbanlah yang menstimulasi pelaku melakukan (penghinaan) itu. Akibatnya, korban melihat dirinya sebagai orang pertama yang mesti bertanggung jawab atas pertengkaran dan penghinaan pacarnya, walaupun jelas bukan korban penyebabnya.

Dengan demikian, mereka akan terus menyalahkan dirinya dan semakin tergantung secara psikologis kepada pasangannya. Situasi ini membuat seseorang merasa tidak berdaya jika tidak bersama pasangannya. Maka, seperti kakak Uli, meski dia merasa sakit dihina terus dan menyadari lambat laun kehilangan dirinya, tetapi sulit putus dari pacarnya karena dikondisikan pelaku untuk tergantung secara psikologis.

Tentang pelaku, tidak jarang mereka memang berpenampilan charming, punya kedudukan, dan dihormati di komunitasnya. Dengan demikian, memutus lingkar kekerasan adalah jalan satu-satunya. Pertama, menyadarkan kakak Uli atas situasi ini. Jika dibutuhkan, minta bantuan psikolog untuk bersama-sama mengajak kakak melihat dirinya secara gamblang. Atau minta bantuan women’s crisis center di tempat Uli tinggal. Uli juga perlu minta bantuan anggota keluarga lain untuk mendukung langkah terbaik bagi kakak karena akan sangat membantu proses ini. Intinya, bantu kakak Uli dengan membangun sistem yang memberi dukungan bagi upaya memutus lingkaran kekerasan ini.

Yang mesti dihindari, jangan menyalahkan dan memaksa korban membuat keputusan yang bukan dari kesadaran dirinya karena hanya akan membuat korban semakin terpuruk.

Kompas, 27 Agustus 2005

Jumat, 22 Jun 2018 14:12

Ada kelompok masyarakat yang sangat rentan dilanggar haknya dalam masyarakat kita, yakni perempuan dan difabel (pengganti istilah penyandang cacat). Maka lengkaplah kerentanan itu bagi seseorang yang menyandang dua hal tersebut, perempuan sekaligus difabel. Seperti dituturkan seorang ibu di bawah ini tentang penderitaan anak perempuannya yang difabel karena kekerasan seksual.

Kasus:

"SAYA bernama Darmi. Saya janda dan memiliki satu anak perempuan. Saat ini anak saya telah berusia 19 tahun. Anak perempuan saya namanya Nana. Sejak lahir ia tidak seperti anak lainnya. Tetangga saya mengatakan bahwa anak saya terbelakang. Meski telah berusia 19 tahun, Nana masih seperti anak yang duduk di kelas tiga sekolah dasar. Nana pernah sekolah tetapi tidak sampai tamat. Nana sekolah karena saya paksa meski selalu tinggal kelas. Nana juga tidak lancar dalam berkomunikasi. Tidak bisu, tetapi bicaranya sulit ditangkap. Sebetulnya saya ingin menyekolahkan dia di sekolah luar biasa, tetapi karena biayanya tidak terjangkau, akhirnya Nana menjadi tidak sekolah. Saya perempuan buruh miskin yang tinggal menumpang di tempat seorang yang mempunyai kepedulian pada nasib kami.

Ibu pengasuh yang baik, tampaknya cobaan belum berhenti. Nana yang lugu tiba-tiba bercerita kepada saya bahwa dia baru saja main "manten-mantenan" (pengantin). Sebetulnya sudah beberapa kali dia bercerita, tetapi saya tidak pernah menanggapinya. Saya tidak menduga yang macam-macam dan karena saya sudah lelah bekerja. Namun, ketika badannya panas dan mengeluh bagian kemaluannya sakit, baru saya tanyakan. Pada saat itu saya bingung dan akhirnya Nana saya periksakan ke puskesmas. Puskesmas merujuk saya untuk periksa di rumah sakit umum. Ternyata anak saya infeksi pada bagian kemaluannya dan menurut dokter ada luka karena benda tumpul.

Saya ceritakan semua kejadian kepada famili saya. Mulailah kasus terungkap dan masyarakat melaporkan kejadian itu kepada pihak berwajib. Saya dipanggil pihak polisi agar menceritakan kejadian tersebut. Saya marah, dendam, benci karena orang yang telah "menjahati" anak saya ternyata tetangga dekat kami yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Saya menginginkan kasus ini dapat dituntaskan dan pelakunya diberi hukuman setimpal. Namun, kasus saya tidak pernah selesai karena keterangan anak saya dinyatakan tidak jelas dan meragukan.

Ibu, bagaimana bisa begini? Pelaku pemerkosaan pada anak saya sudah datang di kantor kepolisian dan mengakui perbuatannya. Kasus saya sudah bolak-balik antara kepolisian dan kantor kejaksaan. Ibu, apa yang seharusnya saya lakukan untuk masa depan anak saya. Apakah saya tidak berhak mendapatkan keadilan."

(Darmi di Yogyakarta)

Jawab

Ibu Darmi yang sedang bingung, kami sangat memahami penderitaan Ibu. Berdasarkan penuturan Ibu, tampaknya putri Anda telah mengalami kekerasan seksual atau pemerkosaan. Kami mengategorikan tindakan tersebut sebagai pemerkosaan karena meskipun tampaknya tidak ada tanda-tanda pemaksaan, si pelaku telah berbuat sesuatu berdasarkan "persetujuan semu" dari putri Ibu. Maksudnya, persetujuan melakukan sesuatu hal yang tidak didasari atas kepahaman sepenuhnya atas apa sesungguhnya perbuatan tersebut.

Kasus yang sama biasanya terjadi pada anak-anak, yang secara "sukarela" bersedia diajak bermain "manten-mantenan", "kuda-kudaan", atau berbagai sebutan lainnya yang berkonotasi seksual, oleh orang dewasa yang menyalahgunakan kepercayaan si anak. Si anak "bersedia" karena mereka tidak memahami perbuatan apa sesungguhnya yang dilakukan orang dewasa yang mereka kenal itu.

Karena putri Ibu mengalami keterbelakangan mental, maka meskipun mungkin secara fisik ia tumbuh normal, kemampuan mental intelektualnya tidak berkembang sewajarnya sehingga ia masih berpikir seperti anak-anak.

Sangat disesalkan bahwa kasus putri Ibu akhirnya mandek dan pelakunya lepas dari jerat hukum karena anggapan kurang dipercayainya keterangan putri Ibu. Sesungguhnya bukan hanya Ibu yang mengalami kekecewaan apabila melihat sistem hukum kita yang demikian itu. Banyak kasus tidak dapat diselesaikan melalui keputusan pengadilan, dengan alasan kurangnya alat bukti atau karena peraturannya belum cukup mengatur hal itu.

Sebenarnya putri Ibu telah mengalami "kekerasan ganda" karena, pertama, sebagai manusia yang berjenis kelamin perempuan, dan kedua sebagai difabel atau manusia dengan kemampuan yang berbeda (different abilities).

Istilah ini sekarang banyak dipergunakan untuk mengganti sebutan penyandang cacat yang berkonotasi kurang menguntungkan untuk kelompok masyarakat ini. Dikatakan bahwa Nana telah mengalami kekerasan ganda karena sebagai perempuan ia rentan menjadi sasaran tindak kekerasan berbasis jender (pemerkosaan, pelecehan, dan sebagainya). Sebagai sosok difabel, ia juga rentan mengalami perlakuan tidak adil.

Secara logika, seharusnya kelompok difabel ini mendapat perlindungan setara dengan mereka yang nondifabel, tetapi kenyataannya tidak begitu. Seperti yang dialami Nana, keterangannya menjadi diragukan karena dianggap sebagai keterangan "kanak-kanak" yang belum tentu dijamin kebenarannya. Pandangan inilah yang tampaknya kemudian diadopsi para penegak hukum kita sehingga mengaburkan persoalan Nana yang sesungguhnya, yaitu soal bahwa ia telah diperkosa.

Bu Darmi, sebenarnya masih banyak Nana-Nana yang lain, yang tidak paham bahwa dirinya telah mendapat kekerasan, karena boleh jadi informasi mengenai kekerasan berbasis jender, informasi soal bagaimana memahami dan melindungi tubuhnya sendiri, tidak pernah sampai kepada kaum difabel ini. Memang untuk menyampaikan hal ini kepada mereka diperlukan metode dan sarana berbeda dengan metode dan sarana yang dipakai untuk kelompok masyarakat nondifabel.

Untuk itu, menyampaikan informasi mengenai masalah ini kepada para pendamping, pengampu, pengasuh, dan guru dari kelompok difabel ini mungkin menjadi alternatif yang paling cepat dapat kita lakukan sebagai upaya pencegahan. Selain itu, sudah saatnya kita semua mulai menghargai sesama, tanpa kecuali kelompok masyarakat difabel ini.

Sebenarnya pemerintah kita telah dengan jelas mengatur tentang penyandang cacat (difabel) ini dalam UU Nomor 4 Tahun 1997. Namun, UU ini pun masih perlu disosialisasikan, demikian juga tentang peraturan pelengkap yang lain.

Nah Bu Darmi, apabila Anda masih ingin mengupayakan tindakan hukum guna menyeret si pelaku ke meja hijau, mungkin ada baiknya Ibu melakukan upaya itu bersama dengan kelompok atau organisasi pembela hak kaum difabel. Selain itu, Nana tentu memerlukan pola pengasuhan yang khusus, mengingat keadaannya yang demikian. Mendidik Nana agar ia mampu menolong dirinya sendiri, baik dalam mengatasi masalah praktis sehari-hari maupun dalam membawa dirinya melangkah ke masa depan, tampaknya merupakan prioritas utama yang perlu menjadi perhatian Anda dan seluruh keluarga.

Apabila Ibu masih memerlukan informasi dan pendampingan lebih lanjut, Ibu dapat menghubungi lembaga pendampingan kaum difabel yang terdekat dari tempat tinggal Ibu. Atau, Ibu dapat menghubungi kami untuk memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai organisasi yang berkaitan dengan hal itu.

Salam, Rifka Annisa.

 

Kompas, 29 Maret 2004

Selasa, 10 Oktober 2017 05:46

Media memiliki peranan penting dalam menyebarkan informasi dan membangun opini publik terkait isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk salah satunya tentang isu kekerasan seksual. Sehubungan dengan ini, media tidak hanya dituntut untuk menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya, lebih dari itu, media perlu menyajikan berita yang lebih berempati pada korban. Sebab, pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang tidak berperspektif korban justru akan membuat korban mengalami ‘kekerasan’ untuk kedua kalinya.

Salah satu contohnya adalah pemberitaan yang dimuat oleh Radar Jogja, 6 September 2017 yang berjudul “Telaah Dulu Motif Pelaku dan Korban”. Tulisan tersebut menyoroti kasus pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru di Gunungkidul terhadap anak didiknya. Berita ini juga tersedia versi online dengan judul “Pencabulan Siswi SMK, Perempuan Harus Berani Menolak” bisa diakses secara melalui http://www.radarjogja.co.id/pencabulan-siswi-smk-perempuan-harus-berani-menolak/. Ada beberapa kontroversi dalam pemberitaan tersebut yang akan dibahas oleh penulis. 

Pertama, mengenai pendapat pengamat yang dikutip dalam berita. Di berita tersebut tertulis, pengamat seksologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro PhD berpendapat, pihak kepolisian tidak boleh asal menjerat pelaku dengan undang-undang pidana, tapi harus menelaah terlebih dahulu motif pelaku dan korbannya. Pengamat juga menyebutkan bahwa tidak bisa kemudian langsung menyalahkan pelaku hanya berdasarkan laporan korban. Ia mengatakan hal tersebut bisa ditelusuri lebih mendalam, apakah mereka berdua sama-sama suka atau ada perasaan, kalau memang ada perasaan cinta tindakan tersebut belum bisa dikatakan kriminal.

Pernyataan diatas, menurut penulis, tidak sejalan dengan amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Tindakan pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur oleh oknum guru di Gunungkidul sebagaimana yang diberitakan adalah tindakan kriminal sehingga pelaku bisa dipidanakan. Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 9 (1a) bahwa Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Apa yang dilakukan oknum guru tersebut jelas merupakan kejahatan seksual yang melanggar hak anak. Maka pemidanaan sudah menjadi konsekuensi semestinya.

Kedua, pernyataan pakar tersebut juga melanggengkan stigma yang diberikan kepada perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Stigma terhadap perempuan korban masih terus bermunculan. Kutipan pernyataan seperti yang ditulis di Radar Jogja diatas justru melanggengkan stigmatisasi terhadap korban. Sebagaimana tertulis, Prof Koentjoro PhD dari UGM menyatakan: “Yang menjadi permasalahan hanyalah pada status sosial keduanya. Baik guru maupun siswi yang bersangkutan. Padahal, tidak menutup kemungkinan keduanya memang menjalin kasih di sekolah. Wajar saja kalau ada ketertarikan sang guru pada siswinya. Remaja di usia tersebut memang sudah dianggap matang untuk menjalin hubungan orang dewasa.”

Lagi-lagi kutipan pernyataan tersebut menimbulkan masalah. Pernyataan seperti itu tidak berempati pada korban. Seolah memberikan ruang untuk penyangkalan atas tindak kejahatan pelaku dengan melimpahkan kesalahan pada pihak perempuan. Kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, termasuk anak didik, adalah mutlak kejahatan yang harus dipidanakan. Semestinya tidak ada ruang atau alasan untuk melihat tentang motif pelaku dan korban, apalagi melakukan pembenaran tindak kejahatan seksual dengan dalih pelaku dan korban ‘menjalin kasih’ atau ‘suka sama suka’. Terlebih jika korban masih berusia anak. Melakukan hubungan seksual dalam bentuk apapun terhadap anak adalah kejahatan. Sehingga consent atau persetujuan anak tidak berlaku sebagai alasan pembenaran atas tindakan pelaku.

Apapun alasan yang digunakan untuk melakukan penyangkalan atau pewajaran atas segala bentuk tindakan kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak berempati pada korban. Anggapan tentang ‘suka sama suka’ adalah sebuah gagal paham dan tidak berpengetahuan. Dalam hal ini hubungan atau perbedaan kekuasaan antara korban dan pelaku penting untuk lebih diperhatikan. Hubungan pelaku sebagai ‘guru dan murid’ sekaligus ‘orang dewasa dan anak-anak’ telah memberikan efek kekuasaan yang berbeda. Hal ini dapat dijadikan celah bagi pelaku untuk melakukan kejahatan seksual dengan atau tanpa memperlihatkan unsur kekerasan. Adanya ancaman, kekerasan atau pun yang berupa bujuk rayu dapat menjadi alat pelaku untuk mengontrol korban agar mengikuti keinginannya. Hal ini jelas menandakan adanya kekuasaan (power) yang timpang sehingga tindakan kejahatan seksual dilakukan.

Selama 24 tahun pengalaman Rifka Annisa mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan, faktor relasi kuasa ini sangat berpengaruh pada terjadinya kekerasan dan memberikan dampak yang tidak bisa disepelekan pada korban. Bagi korban dampaknya adalah perasaan takut, cemas, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa sehingga terpaksa menuruti keinginan pelaku atau pun seolah membiarkan pelaku melakukan kejahatan atas dirinya. Padahal sebenarnya korban berada dalam situasi yang tidak berdaya.

Situasi ketidakberdayaan ini yang kemudian menyebabkan perempuan dan anak terkadang tidak tahu harus berbuat apa atau bahkan cenderung memendam sendiri peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya. Sayangnya, ketika mereka sudah berani bicara atau melapor meskipun dalam tenggat waktu yang cukup lama, masyarakat justru melontarkan pernyataan yang menyudutkan korban seperti “Kenapa baru melapor?”, “Kamu melapor karena dipaksa ya?”, atau pernyataan lain yang menyalahkan dan semakin menambah beban psikologis pada korban. Respon tidak percaya pada korban, menganggap remeh kejadian kekerasan seksual, tidak adanya dukungan dari orang terdekat, dan kebiasaan menyalahkan korban menyebabkan tidak banyak perempuan dan anak serta merta bisa angkat bicara atas peristiwa kekerasan yang dialaminya. Korban kekerasan seksual pada akhirnya tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk pemulihan. 

Ketiga, mengajarkan asertivitas dan keberanian bagi perempuan dan anak memang penting untuk menolak perlakuan yang membuat tidak nyaman misalnya dengan berani berkata TIDAK dan berani meminta pertolongan ketika ada orang yang menunjukkan gelagat bahaya pada diri kita. Hal ini penting sebab merupakan bagian dari meningkatkan konsep diri, penghargaan atas diri, dan upaya pertahanan diri. Namun, hal yang tak kalah pentingnya adalah mencegah diri untuk tidak melakukan kekerasan pada orang lain. Terlebih jika seseorang dianggap sebagai figur yang semestinya menjadi panutan orang lain, maka yang penting adalah bagaimana menjadi role model yang memang patut digugu lan ditiru. Apa yang dilakukan oleh oknum guru pada kasus diatas jelas-jelas melanggar etika profesi dan melanggar hukum. Selain itu, penting juga memberikan pendampingan dan perlindungan korban. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan proses pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tetap harus dilakukan untuk menjamin hak korban, memberikan efek jera pada pelaku dan menjamin agar kejahatan seksual tidak berulang.

Keempat, penulis mengapresiasi bahwa media turut mengedukasi masyarakat melalui pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual. Namun, edukasi kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan memberitakan kasus kekerasan seksual.  Menyajikan informasi yang edukatif, berdasarkan etika pemberitaan, dan berperspektif korban jauh lebih penting. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi media supaya lebih berintegritas dan dipercaya oleh masyarakat. Media akan menjadi rujukan yang bisa berdampak pada perubahan di masyarakat bukan sekedar menyajikan sensasi dalam pemberitaan.

Kelima, menuliskan informasi yang tidak sesuai konteks adalah sebuah kecerobohan dan kegagalan media menjalankan fungsi edukatifnya. Memang fungsi media mewadahi dan memfasilitasi, namun pendapat yang disampaikan ahli dalam berita di Radar Jogja tersebut bukan dalam konteks aspirasi dan tidak dimuat di rubrik opini melainkan ditulis sebagai artikel berita. Sehingga apa yang ditulis wartawan dalam berita menjadi kabur apakah hal itu berupa opini atau fakta. Ini sangat disayangkan, semestinya pihak redaktur bisa lebih selektif menyaring pemberitaan dan memilih narasumber yang lebih kompeten atau informasi mana yang layak muat dan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Berita yang tidak berperspektif korban dan gagal memahami konteks bisa menyesatkan dan menggiring opini publik pada melanggengkan stigma pada korban kekerasan seksual dan penyangkalan atas tindakan kejahatan.

Setiap tulisan akan dipertanggungjawabkan. Begitu pula produk jurnalistik, harus bisa dipertanggungjawabkan dan berkontribusi pada kemanusiaan. Jika pun pendapat tersebut diwadahi dalam rubrik opini, menurut penulis, agar media lebih bijak mewadahi dan memfasilitasi aspirasi, pihak redaktur perlu memiliki standar kualifikasi tingkat tinggi untuk meloloskan opini tersebut jika didukung dengan argumen, data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga ketika ada masyarakat yang tidak setuju pun bisa berdebat secara elegan dengan membuat opini tandingan untuk diterbitkan juga oleh media yang bersangkutan. Sehingga terjadi dialog di media massa dan bisa diambil pembelajaran oleh masyarakat.

Keenam, yang tidak kalah penting adalah memastikan jurnalis dan redaktur juga lebih memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jurnalis dan redaktur dituntut untuk juga memiliki perspektif gender dan lebih dari itu perspektif empati pada korban agar bisa menghasilkan pemberitaan yang inspiratif dan edukatif bagi masyarakat. Kalau pun belum sempat belajar tentang perspektif gender serta peliputan isu perempuan dan anak, paling tidak mereka paham tentang hukum. Dalam kasus diatas jelas sekali, tindakan oknum guru  terhadap siswanya adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Anak. Minimal hal ini diketahui oleh setiap jurnalis dan redaktur. Sangat disayangkan jika kendala deadline atau pun kejar setoran selalu menjadi alasan pemakluman terkait kualitas berita yang semakin menurun. Penguatan kapasitas dan pengetahuan wartawan perlu terus ditingkatkan, termasuk berupaya agar mereka tetap bisa menghasilkan berita yang berkualitas di tengah tantangan-tantangan tersebut.

Sebagai penutup, ke depan diharapkan terjalin sinergi antara lembaga pendamping korban kekerasan dan media dalam upaya mencegah dan menangani terjadinya kekerasan. Media dapat mengambil peran yang signifikan yaitu dengan membuat pemberitaan yang berperspektif korban dan berkontribusi pada penghapusan kekerasan sehingga berdampak pada perubahan lebih baik di masa depan. []

 

-------------------------------

Tentang penulis:

Defirentia One Muharomah adalah Manajer Humas dan Media di Rifka Annisa pada tahun 2014-2017

Selasa, 05 September 2017 15:44

Gunungkidul- "Bullying merupakan Segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus", jelas salah satu tim pendidik sebaya SMKN 1 Saptosari Gunungkidul dalam acara sosialisasi pencegahan bullying di sekolah pada hari Jumat, 25 Agustus 2017 lalu. Acara yang diikuti oleh 44 peserta ini, dipandu langsung oleh Ihsan dan Dita, anggota pendidik sebaya SMKN 1 Saptosari, sebagai Fasilitator sosialisasi.

Dalam upaya pencegahan kekerasan dikalangan remaja Rifka Annisa selalu melibatkan remaja dalam kerja-kerjanya. Karena, kekuatan ‘peer Pressure’ dikalangan remaja seringkali berpengaruh pada perilaku-perilaku mereka. Rasa ingin tahu, ingin diterima oleh kelompok, diakui keberadaannya, merupakan ciri-ciri yang mewarnai perkembangan remaja. Ketika remaja memiliki teman sebaya yang berperilaku positif, maka ia akan terbiasa dengan hal-hal yang positif, tetapi ketika sebaliknya maka remaja juga akan rentan berperilaku negatif. Keterkaitan antara teman sebaya dengan perilaku remaja ini menjadi peluang penting untuk melakukan pendekatan kepada remaja.

Acara yang berlangsung selama 3 jam ini bertujuan untuk memberikan edukasi dan informasi kepada remaja terkait pencegahan bullying dikalangan remaja. Melalui sosialisasi ini remaja diharapkan dapat menjalin relasi dengan teman-teman sebayanya tanpa melakukan kekerasan maupun berkata kasar. Selain itu, sosialisasi ini juga berupaya memberikan ruang bagi remaja dalam meningkatkan kapasitas mereka sebagai fasilitator pendidik sebaya.

Rifka Annisa telah bekerjasama dengan SMK N 1 Saptosari, Gunungkidul untuk membentuk Tim Pendidik Sebaya melalui berbagai pelatihan. Sehingga, kegiatan sosialisasi dengan tema ‘ Pencegahan Bullying di Sekolah’ tersebut merupakan salah satu upaya lanjutan dari pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak bagi pendidik sebaya pada bulan Maret dan April 2017 lalu.

Setelah sesi sosialisasi, acara dilanjutkan dengan FGD (Focus Group Discussion). peserta sosialisasi dibagi menjadi 10 kelompok, dan setiap kelompok dipandu oleh satu aggota tim pendidik sebaya SMK N 1 Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. []

44076053
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8
37334
140174
276576
44076053