Selasa, 25 Oktober 2016 11:20

 

7_Foto_liputan_1-WP_20160617_010-1.jpg

 

Jumat 17 Juni 2016, Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA) berkumpul di Balai Desa Ngalang. Acara ini merupakan pertemuan rutin yang diagendakan kelompok FPK2PA Ngalang untuk belajar tentang kekerasan dalam keluarga. FPK2PA merasa perlu belajar hal ini karena di lingkungan Dusun Ngalang masih terjadi kekerasan terhadap anak secara fisik maupun verbal seperti mencubit, membentak, dan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang dilakukan Heni yang menjabat sebagai Ketua FPK2PA Ngalang, saat ini ia mendampingi kasus anak di dusun tempat tinggalnya. “Menurut proses pendampingan yang dilakukan, anak ini merupakan korban dari orangtuanya sehingga membawa dampak belajar anak di sekolah dan pergaulan anak ini,” kata Heni.

Bagi Atun yang juga pengurus FPK2PA Ngalang bidang konseling, belajar tentang kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal yang mudah. Bagi dia membicarakan tentang personal keluarga menjadi tantangan tersendiri karena masyarakat masih mengagap persoalan ini hal yang tabu. Kegiatan ini diikuti sekiar 15 orang, dimulai dengan koordinasi forum tentang implementasi program kerja yang diagendakan dalam 3 tahun kedepan. Di tahun 2016, sebagai awal perencanaan program, FPK2PA akan mengajukan anggaran ke desa. Hal ini bagian dari komitmen desa mendorong upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Proses ini juga merupakan peluang undang-undang desa yang ada di Ngalang, bahwa akses pembangunan telah banyak dilakukan oleh kelompok perempuan di desa. Mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa melalui diskusi – diskusi dan belajar organisasi.

Diskusi tersebut dimulai dengan refleksi tentang diri, tentang pengalaman hidup, pengalaman masa lalu, dan pengalaman kekerasan yang pernah dialami dan dilakukan oleh masing-masing orang. Dalam proses ini peserta menggambarkan sebuah simbol tentang apa yang pernah mereka alami. Salah satunya Lia, ibu satu anak yang juga kader posyandu. Dalam kertas yang ia bawa tergambar bibir. Gambar yang ia buat memiliki cerita bahwa dia sering marah dengan anaknya lantaran anaknya sering membuatnya jengkel. “Anak yang juga aktif bertanya telah membuat saya sendiri marah-marah dan bentak-bentak jika tidak bisa menjawabnya,” jelas Lia. Meskipun setelah itu ia menyesal dan sedih. Pengalaman ini membuat ia berefleksi untuk tidak melakukan itu lagi ke anaknya.

Cerita lain juga datang dari Atun, ia menggambarkan tangan dalam simbol kertas merah itu. Pengalaman yang ia ingat, waktu anaknya masih kecil ia selalu memaksakan kehendaknya dan keinginannya. Hal ini ternyata punya dampak tersendiri ketika anaknya sekarang tumbuh dewasa.  Atun juga kemudian menyadari hal apa yang ia pernah lakukan membuat anaknya sekarang tidak percaya diri dan setiap mengambil keputusan selalu bertanya. Ia sedih dan menyesal tentang apa yang pernah ia lakukan dan karena pengasuhan yang tidak baik dari dirinya. Namun kini ia menyadari itu, bahwa dulu ia mengasuh dengan keliru karena ketidaktahuannya. “Kini saya tidak ingin hal itu terulang kembali. Saya menanamkan pengasuhan yang positif dan akan mendorong anak tumbuh menjadi pribadi percaya diri dan berkembang bersosialisasi ke lingkungannya,” kata Atun.

Belajar pada hari itu memberikan ketrampilan tersendiri dan bekal bagi peserta. Selanjutnya anggota FPK2PA akan turun ke dusun-dusun dan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Pembelajaran ini juga akan diteruskan untuk penguatan kapasitas menjadi fasilitator yang akan pada 23-24 Juni 2016. Fitri sebagai fasilitator diskusi juga mengungkapkan refleksi pengalaman dan hal itu menjadi pengetahuan yang bisa didiskusikan. “Kami bisa saling belajar dari pengalaman kehidupan setiap orang,” ungkap Fitri.

 

Senin, 23 Mei 2016 06:48

Jum’at-sabtu, 6-7 Mei 2016 FPK2PA (Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak) Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul menyelenggarakan kegiatan perencanaan program untuk satu tahun kedepan. Kegiatan tersebut diselenggarakan di balai Desa Ngalang dan difasilitasi oleh Rifka Annisa WCC. Forum tersebut dihadiri oleh 15 pengurus FPK2PA yang mewakili masing-masing dusun yang ada di Desa Ngalang.

FPK2PA merupakan lembaga yang berada dibawah naungan pemerintah Desa Ngalang yang berperan dalam penghapusan kekerasan. Pada hari Jum’at 6 Mei 2016, pengurus FPK2PA memetakan potensi, harapan dan tantangan. Dalam diskusi pemetaan ini, peserta menceritakan pengalaman paling menyenangkan selama mereka tinggal di Desa Ngalang, keberhasilan masing-masing pada lima bulan terakhir, mimpi mereka tentang desa ngalang, dan yang terakhir mereka mendiskusikan apa saja tantangan dalam mencapai impian.

Hasil dari diskusi tersebut antara lain; Peserta menyadari bahwa individu di FPK2PA adalah orang-orang yang penuh semangat belajar, jujur, penyayang, humoris, menghargai, bertanggungjawab, empati, pantang menyerah, dan mudah beradaptasi. Peserta juga menceritakan bahwa terdapat modal sosial di masyarakat Desa Ngalang yaitu Rasulan. Rasulan merupakan kegiatan bersih-bersih dan gotong royong antara warga. Budaya Rasulan mengajarkan pada anak-anak untuk belajar bersosialisasi, menghormati orang lain dan berterimakasih.

Salah satu peserta diskusi menceritakan bahwa, “Dimasa lalu anak-anak berangkat sekolah bersama-sama, bermain di sungai dan sawah, memberi makan kambing, dan memainkan mainan tradisional bersama-sama. Remaja pada masa lalu apabila berpacaran tidak pernah pergi berdua. Akan tetapi ditemani oleh teman masing-masing pasangan. Jadi, kemungkinan terjadi hubungan seksual sebelum menikah lebih kecil. Pengurus FPK2PA mengeluhkan kondisi anak dan remaja saat ini. Pengaruh teknologi membuat anak-anak menjadi individualis, tidak bermain bersama, tidak menghormati orang dewasa dan pacaran yang tidak sehat.

Melihat fenomena tersebut, pengurus FPK2PA menyimpulkan ingin membuat Desa Ngalang menjadi lingkungan yang harmonis dan bebas dari kekerasan. Hal ini karena dimasa lalu Desa Ngalang merupakan daerah yang makmur, maka dimasa depan perlu membuat Desa Ngalang menjadi tempat yang nyaman untuk tumbuh dan berkembang bagi anak-anak seperti masa lalu. Walaupun terdapat tantangan seperti pergaulan remaja yang lebih bebas dan teknologi, FPK2PA tetap harus berusaha membangun masyarakat adil sejahtera.

Metode yang digunakan dalam proses tersebut yaitu AI (Appreciative Inquiry). AI yaitu pendekatan baru untuk membantu komunitas mencapai mimpinya. Asumsi pendekatan ini yaitu setiap masyarakat memiliki bakat, keahlian, cerita sukses, dan sumber daya lain yang dapat dikembangkan. Pendekatan ini melihat bahwa manusia memiliki kekuatan dan kapasitas. Jadi, setelah menemukan potensi dan mimpinya, pengurus FPK2PA mulai menyusun strategi dan program untuk mencapai tujuan bersama.

Kemudian pada, hari sabtu 7 Mei 2016, pengurus FPK2PA Desa Ngalang menyepakati lima strategi yang diturunkan menjadi berbagai program. Pertama, strategi berbagi informasi. Bentuk kegiatannya yaitu melakukan sosialisasi tentang KDRT (Kekerasan Dalam rumah Tangga), Kesehatan Reproduksi, dan bahaya rokok, narkoba, miras. Pengurus juga menyepakati membuat facebook sebagai alat kampanye. Kedua, Peningkatan kapasitas bagi pengurus FPK2PA. Kapasitas yang harus dimiliki oleh pengurus yaitu menjadi pendamping korban kekerasan dan narasumber dalam sosialisasi yang akan dilakukan. Ketiga, mendapatkan dukungan dari pemerintah desa. Silaturahmi dan komunikasi terkait kegiatan sangat penting untuk dilakukan. Kelima, Menyediakan pelayanan pendampingan korban kekerasan. Keenam, membangun gerakan, seperti dialog non formal dengan teman-teman atau istilah nya getuk tular. Ketujuh, Mendapat dukungan masyarakat, dengan mendatangi acara-acara dusun dan melakukan sosialisasi isu perempuan dan anak. Terakhir adanya Evaluasi dan Refleksi. Evaluasi ini penting dilakukan paling tidak sebulan sekali untuk melihat pelaksanaan program dan perbaikan bagi FPK2PA Desa Ngalang.

Senin, 27 Juli 2015 14:00

Iringan barisan prajurit lengkap dengan pakaian adat jawa silih berganti membawa gunungan berjalan menuju alun-alun Wonosari. Warga sekitar berbondong-bondong menyaksikan upacara peringatan hari ulang tahun Gunung Kidul ke- 184 pada hari rabu, 27 Mei 2015 di alun-alun Wonosari. Seremonial hari jadi Gunungkidul dilanjutkan dengan diselenggarakan kirab budaya yang diarak berkeliling seputaran Kota Wonosari yang berjarak kurang lebih 5 km. Kirab budaya dimulai dari alun-alun Wonosari ke timur menuju Pasar Argosari kemudian belok ke arah jalan Sumarwi dan finishnya di halaman Balai Desa Wonosari.

Kirab budaya dalam rangka hari lahir (harlah) Gunungkidul ini juga dimeriahkan oleh Rifka Annisa beserta 450 orang dari beberapa komunitas dampingannya. Mereka berdatangan dari beberapa kecamatan yang berbeda, seperti Wonosari, Gedangsari, Semin, Saptosari, Patuk dan Playen. Dari beberapa kecamatan yang berbeda kemudian dikumpulkan, dipersatukan untuk mengikuti proses kirab budaya. Eni Sunaryah selaku koordinator peserta dari komunitas ‘Setia Mitra’ Wareng, kecamatan Wonosari menyampaikan kesannya, “Menyenangkan sekali jadi bisa tambah saudara, bisa kenal komunitas lain serta komunitas kita jadi bisa dikenal masyarakat luas dan mendapatkan perhatian dari pemerintah Gunungkidul”.

Mereka berseragam, berbaris rapi turun ke jalan menuju alun-alun Wonosari untuk mengikuti proses kirab budaya. Dengan menggunakan pakaian pelajar sekolah dari tingkat SD-SMP-SMA, Rifka Annisa hadir dengan konsep teaterikal diiringi yel-yel “pendidikan dini penting, pernikahan dini pending” serta membawakan spanduk dan plakat yang bertuliskan “Cari Ijazah dulu baru Ijab syah”, “Tunjukan Prestasi Sejak Dini bukan Pernikahan usia dini”, “Stop pernikahan usia anak”, “Cah cilik luwih becik nggendong tas sikik tinimbang nggendong anak”.

“Pesan dari tulisan plakat dan yel-yel tersebut menceritakan tentang ketidakharmonisan keluarga yang berdampak pada anak terjerumus dalam pergaulan bebas, sex bebas serta mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tatkala usianya yang masih belia dan teman-temannya masih sekolah dia sudah nikah dini dan sudah hamil duluan” tutur Eni.

Di samping itu keikutsertaan Rifka Annisa dan komunitas dalam kirab budaya juga menjadi ajang wahana yang efektif dalam mensosialisasikan pencegahan pernikahan usia anak di Gunungkidul. Mengingat kasus pernikahan usia anak di Gunungkidul masih tergolong tinggi. Berdasarkan data kasus dari pengadilan agama Wonosari tercatat 146 dispensasi pernikahan anak dibawah umur pada tahun 2014 bahkan hingga bulan februari tahun 2015 tercatat 15 kasus dispensasi pernikahan anak dibawah umur.

“Harapan terbesar saya, pesan yang kita kampanyekan dan kita tulis dalam sebuah papan kampanye tadi, benar-benar dapat terealisasikan dengan baik. Di antaranya adalah munculnya kesadaran masyarakat Gunungkidul tentang kesetaraan gender, tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi pernikahan dini, lebih mengedepankan pendidikan anak” tutur Rini Koordinator peserta dari FPK2PA desa Bleberan.

 

Khalida Noor

Relawan Humas dan Media

Rifka Annisa

44079007
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2962
40288
143128
276576
44079007