Salam Ibu Pengurus Rifka Annisa, saya ingin membagi kesedihan yang saat ini saya alami karena tidak tahu lagi harus bicara dengan siapa. Mengadukan hal ini kepada keluarga besar saya adalah hal yang mustahil. Bukannya dukungan yang saya dapatkan, paling banter hanya omelan dan cemoohan karena saya dianggap tidak mampu mendidik anak dan suami.
Ibu yang baik, saya adalah ibu dari tiga anak yang sedang menginjak remaja. Saat ini saya menikah untuk kedua kalinya dengan seorang duda tanpa anak. Pernikahan kedua saya ini telah berlangsung tiga tahun. Pada awalnya saya merasakan kebahagiaan tiada tara karena melihat suami dan anak saya hidup rukun dan bahkan sangat akrab. Dari ketiga anak saya, yang nomor dua, M, adalah yang paling dekat dengan bapak tirinya. Mereka sering berangkat bareng. Tak jarang suami saya menjemput M di sekolahnya. Bagi saya, suami saya adalah bapak tiri yang sangat sempurna untuk anak-anak saya.
Namun, saya bagai disambar geledek di siang bolong saat bulan lalu anak saya menghilang. Beberapa hari sebelum hilangnya M, kebetulan saya bertengkar hebat dengan M. Saya mencurigai dia tengah hamil. Dia mengelak tuduhan saya dan malah menuduh saya tidak lagi sayang kepada dia. Menghilangnya dia menguatkan dugaan saya. Sungguh Bu, saya kira semula yang melakukannya adalah teman sekolahnya. Ternyata yang melakukan perbuatan bejat itu tak lain adalah suami saya. Saya langsung lemas dan rasanya seperti gila. Saya mengetahuinya dari M sendiri yang beberapa hari lalu memutuskan kembali ke rumah. Suami saya sendiri saat ini menghilang.
Bu, saya bingung apa yang mesti saya lakukan saat suami saya kembali nanti. Saya tidak ingin menerima kembali lagi dia di dalam rumah kami. Tetapi, kalau dia menggugat haknya sebagai suami dan ayah bagaimana? Tambah pusing lagi karena M bersikap sebaliknya. Dia berharap ayah tirinya bisa kembali ke rumah dan apa yang dilakukan ayah tirinya sama sekali tidak menyakitinya. Mohon bantuan betul Bu karena saya rasanya stres dengan masalah ini. Terima kasih.
(Ibu R)
Jawaban:
Ibu R, kami turut prihatin dengan masalah yang sedang Ibu hadapi. Terima kasih atas kepercayaan Ibu dan semoga kami bisa menjadi kawan dalam memecahkan masalah ini.
Kami tahu bagaimana perasaan Ibu saat ini, namun kami harap Ibu tetap tabah dan dapat berpikir jernih di dalam memecahkan masalah ini.
Masalah yang Ibu hadapi adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga di mana korbannya biasanya tidak selalu tunggal. Dalam kasus ini tidak hanya M yang menjadi korban, namun Ibu juga adalah salah satu korbannya. Tetapi, barangkali masalah M saat ini menjadi prioritas mengingat M telah mengalami apa yang disebut dengan inses.
Ibu R, inses adalah hubungan seksual yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, saudara laki-laki, atau laki-laki lain di dalam keluarga yang tidak memiliki hubungan darah, namun telah diterima dan dipercaya sepenuhnya oleh keluarga.
Pelaku biasanya mempunyai posisi lebih tinggi dan dominan dari korban, namun dipercaya korban. Tak jarang pelaku adalah orang yang disayangi dan dijadikan panutan korban sehingga dalam beberapa kasus, korban cenderung menyerah terhadap inisiatif seksual mereka tanpa melawan.
Dalam kasus lainnya, korban inses merasa takut kepada pelaku karena ia adalah orang yang punya pengaruh penting dalam keluarga, misalnya, sebagai tulang punggung keluarga atau figur yang menjamin keamanan keluarga. Kadang inses juga terjadi dengan menggunakan cara-cara pemaksaan atau ancaman dan tekanan seperti menakut-nakuti, namun bisa juga menggunakan bujukan dengan imbalan tertentu.
Dalam rentang kasus kekerasan seksual, inses ini menempati urutan tertinggi dalam hal dampak yang ditimbulkan pada korban karena biasanya terjadi tindakan seksual yang dilakukan terjadi secara berulang dan dapat berlangsung dalam waktu lama (bertahun-tahun).
Ibu mungkin bingung menghadapi sikap anak Ibu. M terkesan "baik- baik" saja, bahkan mengharap ayahnya pulang dan tidak ada keberatan atas apa yang dialaminya. Berdasarkan pengalaman kami di Rifka Annisa dalam mendampingi korban kasus-kasus inses, ini menunjukkan beberapa hal penting.
Pertama, sikap yang ditunjukkan M adalah salah satu efek dari inses yang dialaminya. Apabila anak merasa terlalu sakit atau tekanan emosinya sangat kuat, anak-anak berusaha mengingkari perasaan sakit tersebut (denial). M melakukan hal tersebut sebagai suatu bentuk mekanisme pertahanan dirinya setelah peristiwa yang menyakitinya.
Kedua, kasus inses terjadi karena pelaku (ayah tiri M) lihai memanipulasi M melalui paksaan, ancaman, bujukan, atau penyuapan. Kondisi M yang belum matang secara kognisi, emosi, maupun seksual dimanfaatkan untuk melaksanakan niatnya. Orang dewasa tidak seharusnya melakukan hubungan seksual dengan anak meskipun anak itu sendiri yang menghendakinya. Dalam hal ini, persetujuan anak tidak berlaku.
Inilah yang disebut sebagai statutory rape. Karena bagaimanapun anak belum cukup matang dalam mengambil keputusan semacam ini, maka tanggung jawab untuk mengendalikan agar anak terhindar dari perbuatan tersebut ada pada orang dewasa dan bukannya justru memanfaatkan keluguan anak dalam hal seksualitas itu. Dengan demikian, dalam kasus ini sesungguhnya M tidak bersalah dan ayah tiri M-lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas peristiwa ini.
Ketiga, beberapa korban inses tidak menunjukkan adanya gangguan kejiwaan serius setelah sekian lama mengalami peristiwa itu, namun sangat mungkin mereka mengalami penundaan atas kemunculan gejala itu. Artinya, gejala kejiwaan serius baru muncul setelah mereka dewasa.
Sayangnya Ibu tidak memberitahukan berapa usia M. Tetapi, merujuk pada banyak studi tentang inses dan pengalaman kami sendiri, bisa jadi M belum merasakan dampaknya saat ini karena belum cukup sadar dan tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Meski demikian, Ibu harus mendukung M untuk mempersiapkan diri apabila hal itu terjadi.
Berkaitan dengan suami Ibu, apa yang dilakukannya telah melanggar Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak tentang tindakan pemaksaan melakukan persetubuhan dengan anak. Suami Ibu diancam dengan pidana maksimal 15 tahun penjara. Perbuatan suami Ibu juga melanggar Pasal 294 KUHP tentang Pencabulan serta Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 46,47, dan 48. Ibu dapat melaporkan kepada polisi untuk kemudian memprosesnya.
Ibu R, yang dibutuhkan M saat ini adalah dukungan dan perhatian Ibu. Coba Ibu fokuskan diri pada kebutuhan-kebutuhan M, agar stres yang Ibu alami berkurang. Karena anak tidak bisa memutuskan sendiri atas kekerasan yang dialaminya, maka tidak cukup bagi kita dengan hanya mendengarkan cerita mereka. Kewajiban kita untuk belajar, memberi perhatian, dan mengatakan sesuatu untuk memberi dukungan kepada anak kita. Jika Ibu merasa kesulitan, banyak layanan dari beberapa lembaga yang menyediakan bantuan konseling bagi anak korban kekerasan seksual. Jika domisili Ibu adalah di Jogja, Ibu dapat menghubungi Rifka Annisa.
Demikian jawaban kami, jika ingin berkonsultasi lebih lanjut, dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..
Harian Jogja, 9 Juni 2018