Kesehatan perempuan sangat terkait dengan eksistensinya dalam keluarga dan masyarakat. Saat ini, pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) pada perempuan mengalami kemunduran. Hal tersebut salah satunya ditandai dengan rumitnya mengajukan cuti haid. Ini menunjukan jika ada praktik sosial yang diskriminatif, khususnya pada perempuan dan remaja perempuan, yang menghalangi mereka mendapatkan hak pelayanan kesehatan reproduksi.
Mengutip Istiatun, dari Solidaritas Perempuan Kinasih, HKSR tidak hanya menjamin setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi tanpa adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. HKSR juga menjamin setiap individu memperoleh akses informasi, pendidikan, dan layanan tentang kesehatan seksual dan reproduksi, serta hak atas kerahasiaan pribadi. Fungsi organ reproduksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan jelas membuat kewajiban dan hak yang berbeda juga. Namun pemenuhan HKSR ini sering dianggap tak sejalan dengan ajaran agama.
Tidak bisa dipungkiri jika agama penting adanya dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan juga memegang peranan penting dalam pemenuhan spiritualitas seseorang. Secara tekstual, seluruh ajaran agama mengajarkan kesetaraan dan menghindari diskriminasi. Namun, tafsir atas teks tersebut seringkali berbeda dan menimbulkan pemahaman yang salah. Misalnya, dalam Al-Quran perempuan diibaratkan sebagai ladang yang harus dijaga dan dirawat. Penafsiran teks ini justru dianggap sebagai legalisasi marital rape yang permisif pada laki-laki untuk dapat meminta hubungan seks pada perempuan semaunya. Ini menunjukan perlunya penafsiran dan pemahaman kembali ayat-ayat yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan. Sementara menurut Pdt. Dr. Yusak Tridarmanto, dosen Fakultas Teologi UKDW, ada satu hal yang harus dipahami bahwa Alkitab lahir di dalam masyarakat yang androsentris, sehingga sangat perlu bagi umat untuk kembali memahami secara kritis konteks dari Alkitab agar tidak lagi ada penafsiran yang bias dan diskriminatif.
Seksualitas termasuk dalam hal yang diatur dalam kitab suci. Melihat dari perspektif Islam, salah satu bagian dari iman adalah menjaga kesehatan reproduksi. Menurut Khotimatul Husna, selaku Ketua PW Fatayat NU DIY, ada sembilan hal yang perlu dipenuhi terkait HKSR, yaitu: (1) hak mencari, menerima dan mengomunikasikan info terkait seksualitas; (2) menerima pendidikan seksual; (3) mendapatkan penghormatan atas integritas tubuhnya; (4) memilih pasangan; (5) memilih untuk aktif seksual atau tidak; (6) melakukan hubungan seksual secara konsesual; (7) menikah secara konsensual; (8) memutuskan memiliki anak atau tidak; (9) memiliki kehidupan seksual yang menyenangkan.
Hal ini juga tercermin dari ajaran-ajaran Kristen yang memaknai bahwa setiap individu mempunyai independensi terhadap hak seksual mereka. Kehidupan seksual harus mendatangkan berkat bagi setiap individu yang terlibat dan dilakukan dengan prinsip-prinsip penuh kedamaian serta menyejahterakan fisik, akal budi, dan jiwa. Artinya, ini dapat terwujud jika seseorang mengetahui potensi seksual dan menjalankan kehidupan seksual secara sehat dan bertanggung jawab.
Perjuangan agar isu HKSR tak lagi mendapat resistensi dari umat beragama tentu tidak mudah. Istilah yang digunakan dalam mempromosikan tafsir yang adil dan humanis perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan penolakan. Pengemasan informasi tentang HKSR pun harus dibuat agar mudah dipahami masyarakat. Menurut Pdt. Dr. Yusak Tridarmanto, pemenuhan HKSR juga dapat dilakukan dalam lingkup terkecil, yaitu keluarga. Dialog antara pasangan untuk menentukan kebijakan bersama sangat penting sebagai awal untuk mewujudkan kehidupan seksual dan reproduksi yang sehat. Pun, yang paling penting, literasi agama sangat penting agar HKSR dapat terpenuhi. Pemahaman agama secara esensial sebagai petunjuk hidup dengan tafsir yang mengedepankan kesalingan dan kesetaraan menjadi salah satu kunci agar agama tak lagi menjadi simbol atau sekadar lembaga saja.