Print this page

Cerita Komunitas: Komunitas Mengorganisasi Diri

Written by  Nurmawati & Ali Rosidin Tuesday, 04 July 2017 14:40
Rate this item
(1 Vote)

Pertemuan itu memang sudah diagendakan dua bulan yang lalu. Begini ceritanya, setelah program Laki-Laki Peduli berakhir, pada penghujung 2015 kami membuat pertemuan gabungan di balai desa Bendung, dengan mengundang alumni diskusi dua jam di komunitas di Desa Bendung dan Semin, Gunungkidul, baik kelas ibu, ayah, maupun remaja. Pertemuan ini bertujuan melihat sejauh mana komitmen alumni peserta diskusi untuk menindaklanjuti pertemuan ke depan meski program sudah berakhir. Pada pertemuan ini kami berupaya menggali pembelajaran-pembelajaran yang mengesankan untuk mereka. Ternyata banyak hal positif yang mereka dapatkan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Mereka mulai bisa mengontrol emosi (dengan menerapkan manajemen time out), membangun komunikasi dengan pasangan, lebih dekat dengan anak, terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, bekerja sama dalam mengambil keputusan, dan lain-lain. Mas Jatmiko bercerita, dulu, ia dengan istrinya ungkur-ungkuran[1], “Bapak madep ke sana, ibu madep ke sini.” Dia merasa komunikasi dengan istri tidak berjalan dengan baik. Pembagian peran memang sudah dilakukan tapi hanya kadang-kadang. “Setelah belajar, (saya) mulai mempraktikkan sedikit demi sedikit sehingga komunikasi lebih lancar, pekerjaan rumah tangga dilakukan bersama seperti sudah terjadwal dengan sendirinya,” ujar laki-laki bermata bening ini. Hal ini memang terlihat ketika kami bertandang ke rumahnya. Dia menyadari, kadang, ketika capek, emosi mudah muncul. Akan tetapi, dia teringat kembali kesepakatan dengan istri, mereka ingin menjadi contoh yang baik.

Perubahan-perubahan yang mereka rasakan ini rupanya sudah dibagi kepada orang lain dengan cara-cara yang sangat sederhana, seperti yang dilakukan mbak Midah, “Kalau tetangga datang, curhat suaminya tidak mau bantu, saya jelasin kalau berbagi itu sangat penting.” Warung pun menjadi media yang efektif bagi mas Jatmiko untuk berbagi dengan tetangganya. “Misal ada yang mampir ke warung, nggak sering, tapi pernah ada teman curhat, terus kita bisa ngasih contoh juga.” Ngobrol santai di sela-sela ngarit di sawah, saat ronda malam di cakruk (pos ronda), ternyata juga bisa menjadi ruang bagi para laki-laki untuk curhat atau sharing masalah anak dan keluarga. Hal ini mengingatkan kami pada komentar pak Siswanto, Dukuh Ngalang, Gedangsari, “Laki-laki itu butuh ruang curhat.” Kalimat ini ia lontarkan saat pertemuan alumni diskusi di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul.

Meskipun banyak cerita sukses, bukan berarti tantangan dan hambatan tidak mereka hadapi. “Di awal, banyak cemoohan,” ujar mas Jatmiko. Dia menggambarkan ganjalan itu seperti jalan, “Karena kita masih berjalan, jadi masih banyak ganjalan.” Ada juga yang masih takut berbagi, mbak Hana dan mas Dwi contohnya. Sebagaimana pada umumnya masyarakat, mereka beranggapan bahwa tabu mengungkapkan masalah pribadi. Mereka khawatir curhatan didengar tetangga lainnya. “Kita mau mengatakan kepada tetangga, nanti mereka salah tanggap. Salah-salah hubungan kita dengan tetangga jadi kurang harmonis. Kan, tetangga dan saudara masih menggunakan prinsip atau nilai-nilai yang mereka pegang sejak dulu,” ujar mas Dwi, suami mbak Hana. Pak Widodo, selaku ketua RT, pun memiliki perasaan yang sama, ia khawatir jika sharing di wilayah RT-nya, akan salah diterima. Kendala-kendala ini wajar terjadi karena tidak hanya para alumni diskusi dua jam di komunitas, lingkungan mereka pun butuh berproses.

Di sisi lain, mereka menyadari bahwa tetangga mereka bermasalah, memiliki masalah yang hampir sama dengan keluarga mereka dahulu. Mereka paham bahwa hal itu terjadi karena mereka juga dibesarkan dengan nilai yang sama. Hanya saja tetangga mereka belum memiliki kesempatan untuk mengikuti diskusi sehingga belum tahu ilmunya. “Kalau tahu ilmunya, mereka bisa terus memperbaiki diri dan keluarga,” ujar mas Jatmiko, pengurus BPD (Badan Permusyawaratan Desa), ini yakin.

Nilai-nilai positif yang baru mereka dapatkan dan terapkan di dalam keluarga inilah yang ingin mereka bagi kepada masyarakat lebih luas. Menurut mas Jatmiko, alangkah indah kalau kita bisa berbagi pengetahuan dengan orang lain agar banyak keluarga menjadi harmonis dengan adanya kesalingan antara pasangan, sehingga anak-anak dapat tumbuh di tengah keluarga dan masyarakat nirkekerasan. Hal ini sangat mungkin terjadi jika dilakukan bersama-sama dalam satu wadah, sebut saja kelompok atau organisasi. Meskipun para alumni berasal dari beragam latar belakang ekonomi, status sosial, pendidikan, dan pekerjaan, mereka memiliki semangat dan tujuan yang sama.

Impian bersama inilah yang membuat pertemuan ini berlanjut. Mas Jatmiko menawarkan rumahnya menjadi tempat pertemuan. Minggu pagi kami menuju Semin, menembus hawa dingin—meski pertemuan diagendakan pukul 09.00 WIB, kami berangkat pagi-pagi karena jarak tempuh antara rumah kami dan tempat pertemuan. Setelah bernegosiasi dengan pasangan, kami berangkat beserta anak dan pasangan masing-masing, dengan tujuan mengajak mereka bersilaturahmi ke Desa Bendung.

Nilai-nilai sosial yang dipegang masyarakat Bendung beraneka ragam. Tradisi rasulan misalnya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai positif seperti gotong royong, saling memberi. Tradisi tersebut adalah media pemersatu masyarakat dan bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan, tetapi dengan perkembangan pemahaman agama baru (Majelis Tafsir Al Qur’an), tradisi ini mulai ditinggalkan karena dianggap tidak ada tuntunan dalam agama. Nilai gotong royong juga tecermin pada budaya sambatan (membangun rumah dengan bantuan keluarga dan tetangga sekitar), jagong nyumbang ketika ada tetangga yang sakit atau melahirkan. Akan tetapi, ketika ada tetangga, saudara perempuan, atau anak-anak mendapat perilaku kekerasan, masyarakat cenderung tidak peduli dan menganggap itu sebagai masalah pribadi yang tidak boleh dicampuri. Seperti halnya masyarakat yang secara umum tidak mau tahu dan mendiamkan hal tersebut, korban juga cenderung menutup diri dan tidak mengungkapkan kekerasan yang dialaminya karena menilai masalah tersebut merupakan aib yang tidak pantas untuk disampaikan kepada orang lain.

Sementara itu, pola relasi di Desa Bendung dan Semin cukup beragam. Sebagian laki-laki berperan sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan mengurus pekerjaan rumah dan pengasuhan anak. Sebagian perempuan juga bekerja sebagai pencari nafkah utama, tetapi ia juga bertugas mengurus pekerjaan rumah dan pengasuhan anak, sementara suami tidak melakukan apa-apa. Beban ganda ini tidak disadari sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan karena sudah biasa terjadi di masyarakat, bahkan dianggap “wes kodrate wong wedok.[2] Meski demikian, kepala rumah tangga tetap dilimpahkan kepada suami. Suami adalah memimpin dan imam keluarga sehingga mereka meyakini bahwa istri harus selalu mengikuti apa pun kehendak suami, suami boleh memukul istri, dan sebagainya. Demikian juga dengan pembagian warisan, hak laki-laki dan perempuan dua berbanding satu, dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Pola asuh yang menggunakan cara-cara kekerasan—misal, jika salah, anak dimarahi, dipukul, dijewer—dianggap wajar di masyarakat.

Kondisi ini memotivasi para alumni untuk melakukan perubahan nilai di masyarakat. Yang sekiranya baik, sudah sepatutnya dipelihara, sedangkan nilai-nilai negatif harus sedikit demi sedikit dikikis dengan cara membagikan pengetahuan, keterampilan, dan menunjukkan contoh nyata. Harapannya, nilai baik yang ditanamkan di dalam keluarga juga menjadi nilai bersama di masyarakat sehingga tercipta lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak-anak. Pak Widodo yang gelisah melihat pola asuh di lingkungannya mengungkapkan, “Soal mengasuh anak, ketika anak bermain sampai lupa waktu, sesampai di rumah, dia dicubit, dijewer.”

Para alumni menyadari praktik-praktik yang mereka lakukan di dalam keluarga terkait berbagi peran, komunikasi yang efektif dengan pasangan dan anak, membangun relasi sehat dengan pasangan dan anak, berbagi peran dalam rumah tangga, menjadi ayah/ibu, dan pengasuhan yang berlandaskan hak anak, manajemen keuangan keluarga, kesehatan reproduksi, perencanaan keluarga, serta materi-materi lain yang mereka dapatkan dari diskusi dua jam di komunitas ini membuat perubahan positif pada diri dan pasangan sehingga mereka merasa keluarganya semakin bahagia dan harmonis. Para ayah merasa semakin bahagia karena dekat dan dicintai anak-anak karena mereka terlibat dalam pengasuhan, mendampingi bermain dan belajar. Konflik di dalam keluarga juga semakin minim karena komunikasi dengan istri semakin terbuka dan berkualitas. Sedangkan para ibu merasa pekerjaan mereka lebih ringan karena mereka berbagi pekerjaan dengan pasangan, mereka juga berkesempatan untuk tampil di kancah publik. Hal-hal seperti ini yang ingin mereka tularkan kepada keluarga lain dan masyarakat.

Dengan keuletan mas Jatmiko, pertemuan ini pun terwujud, dihadiri kurang lebih 20 orang. Menurut kami ini bagus mengingat hari Minggu merupakan hari spesial bagi keluarga dan banyak aktivitas berlangsung bersamaan di kampung. Rifka Annisa diundang untuk memberikan masukan demi keberlanjutan kelompok ini. Kami sangat menikmati pertemuan ini. Duduk beralaskan tikar dengan suguhan teh hangat, lepet mutiara buatan mas Jatmiko sendiri, kacang rebus, dan rambutan hasil kebun. Obrolan santai tapi serius yang diwarnai keriuhan anak-anak. Bukan kami saja yang membawa anak-anak, hampir semua alumni mengajak anak mereka, sehingga mereka pun bisa bermain bersama.

Pada pertemuan itu mereka menyepakati bahwa untuk saat ini tidak perlu membentuk suatu organisasi formal, cukup berupa kumpulan yang terorganisasi saja. Pendelegasian tugas disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Meskipun perkumpulan ini cair dan terbuka untuk siapa pun, mereka menyepakati mas Jatmiko bertanggung jawab sebagai koordinator yang bertugas mengorganisasi para alumni untuk berkumpul. Tanggung jawab untuk urusan administrasi, daftar hadir, juga notulensi, diemban mbak Inayati. Sementara peserta lain bertanggung jawab menyiapkan tempat pertemuan yang akan dilakukan bergantian dari rumah ke rumah, bergiliran dari dusun ke dusun, sehingga peserta yang rumahnya ditempati tidak perlu repot menyiapkan suguhan atau hidangan, air mineral dan satu macam kudapan pun cukup, jika tidak ada pun tidak apa-apa.

Pertemuan akan diadakan sebulan sekali dan setiap pertemuan akan membahas materi yang berbeda-beda, disesuaikan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Pertemuan rutin ini sekaligus menjadi ruang belajar bagi mereka untuk menjadi narasumber karena sudah ada permintaan untuk mengisi di pertemuan tingkat RT atau PKK untuk mensosialisasikan tentang relasi anti-kekerasan dalam rumah tangga, pengasuhan, dan sebagainya.

Begitu juga di Desa Kemejing. Para alumni diskusi dua jam di komunitas juga membentuk perkumpulan, diorganisasi oleh mbak Welas. Alumni diskusi kelas ibu berkumpul sebulan sekali membahas masalah keluarga dan membuka diri untuk warga setempat yang ingin ikut berkumpul. Pertemuan ini dianggap efektif untuk menguatkan nilai-nilai baru yang mereka dapatkan selama diskusi dan menjaga komunitas untuk saling menguatkan dan belajar bersama. Pertemuan ini berhasil memediasi pasangan yang berkonflik dan menyelesaikan masalahnya atas masukan dari teman-teman alumni diskusi.

Melihat perubahan positif para alumni diskusi, pemerintah Desa Kemejing berinisiatif mengadopsi serial diskusi yang dilakukan Rifka Annisa menjadi program kerja dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayahnya. Pak lurah sudah menghubungi Rifka dan menginginkan Rifka Annisa untuk menjadi fasilitator dalam serial diskusi setahun ke depan di dua kelas, yaitu kelas ayah dan kelas ibu. Rifka Annisa menyambut baik inisiatif ini, tentunya dengan melibatkan para alumni diskusi Desa Kemejing untuk menjadi co-fasilitator.

           Namun, untuk merespons permintaan dari pemerintah desa, PKK, dan RT Desa Bendung dan Desa Kemejing, para alumni merasa belum memiliki kepercayaan diri dan masih membutuhkan dampingan Rifka Annisa untuk meningkatkan kapasitas berbicara di depan umum, penguasaan materi, penggunaan bahasa sehingga mudah diterima masyarakat. Rifka Annisa pun melihat masih perlu adanya penguatan kapasitas untuk mengorganisasi diri, dengan harapan komunitas ini akan mandiri. Pekerjaan ini harus dilakukan bersama-sama secara terorganisasi. Untuk melakukan perubahan tersebut, harus ada pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian masyarakat adalah proses menyeluruh untuk memecahkan permasalahan tertentu di tengah rakyat atau suatu pendekatan berupa kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka memecahkan masalah tersebut. Hal itu sangat mungkin dicapai jika melihat komitmen dan mimpi-mimpi para alumni ini, apalagi jika komitmen ini didukung oleh pemerintahan desa agar terjaga keberlanjutannya sehingga kesetaraan dan keadilan gender bisa terwujud. Tujuan ini yang akan terus diperjuangkan bersama-sama


[1] saling membelakangi

[2] sudah kodratnya perempuan

Read 3119 times Last modified on Wednesday, 26 July 2017 11:39