Print this page

Perempuan, Menstruasi, dan Konstruksi Rasa Malu Featured

Written by  Syaima Sabine F Sunday, 08 October 2023 10:04
Rate this item
(0 votes)

Dasarnya, menstruasi ‘hanya sekadar’ proses biologis tubuh perempuan. Namun, mengapa perempuan yang tengah mengalami menstruasi merasa malu? Sebagai siklus, menstruasi terjadi secara periodik dan tidak sulit untuk memahaminya sebagai hal alamiah.

Adapun fenomena tabu menstruasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Survei oleh Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pada 2021 lalu menemukan bahwa 54 dari 69 anak perempuan (atau sekitar 78% di antaranya) menyatakan reaksi mereka saat pertama kali menstruasi adalah takut, cemas, dan malu bila orang lain mengetahui mereka sedang menstruasi. Survei ini melibatkan pengalaman anak perempuan di wilayah Aljazair, Irak, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Maroko, Palestina, Yaman, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, dan Yaman.

Tampak bahwa secara turun temurun, anak perempuan diajarkan untuk menyembunyikan dan tidak membicarakan menstruasi dengan terbuka. Upaya menutup-nutupi menstruasi ini di antaranya juga tercermin dari upaya menggunakan penghalusan istilah atau eufemisme pada menstruasi maupun hal-hal yang berkaitan dengannya.

Misalnya, menyebut menstruasi dengan istilah ‘dapet’, datang bulan, tamu bulanan, halangan, dan menyebut pembalut dengan roti Jepang. Lagi-lagi tak hanya di Indonesia, eufemisme ini ditemukan di berbagai belahan dunia. 

Survei oleh International Women’s health Coalition di New York (2016) menemukan bahwa ada setidaknya 5.000 eufemisme untuk menstruasi yang ditemukan di 190-an negara! Contohnya di Italia, menstruasi disebut mar rosso, berarti laut merah, di Spanyol disebut estoy indispuesta, berarti kondisi tidak sehat, dan di Jepang disebut お客さん (ogyakusan) yang berarti tamu.

Juga, penggunaan istilah seperti “kebocoran” telah mengisolasi darah menstruasi sebagai sesuatu yang di luar yang seharusnya, dan menegaskan kembali bahwa menstruasi tidak boleh terlihat. Stigma yang dirasakan perempuan karena menyembunyikan menstruasi dari orang lain menimbulkan perasaan malu luar biasa (Cafolla, Driscoll, Sanchez dalam McHugh, 2020). Bahasa yang distigmatisasi menciptakan budaya malu yang mengajarkan perempuan bahwa terlihatnya noda menstruasi di depan umum adalah salah satu hal paling memalukan yang terjadi pada dirinya.

Pembiasaaan penggunaan istilah demikian perlu dikritisi lantaran turut melanggengkan tabu menstruasi, yang pada gilirannya berkontribusi pada tertutupnya akses informasi terutama bagi remaja perempuan. Dengan kata lain, tidak ada pengetahuan utuh yang disampaikan pada anak perempuan terkait menstruasi. UNICEF Indonesia menemukan bahwa 1 dari 4 anak perempuan tidak pernah mendapatkan informasi tentang menstruasi sampai ia menstruasi. Akibatnya, ia rentan mengalami stres, minder, termasuk mengalami bullying. 

Tabu menstruasi lebih lanjut menyebabkan perempuan dan anak perempuan dikucilkan dari berbagai peran dan situasi di komunitasnya, bahkan hingga memungkinkan perempuan berada dalam petaka, sebagai buntut dari kesalahpahaman maupun stigma negatif terhadap menstruasi.

Di berbagai budaya dan sejarah dunia, menstruasi disebut kotor maupun berbahaya. Karena ini, perempuan menstruasi dianggap menyebabkan kerusakan atau kemalangan baik pada tanaman, makanan, hingga ternak. Perempuan menstruasi dianggap ‘tidak suci’ hingga perlu diasingkan agar tidak membawa sial bagi penduduk sekitar.

Akibatnya, perempuan menstruasi menghadapi pembatasan dalam keseharian, termasuk larangan menghadiri upacara keagamaan, mengunjungi tempat keagamaan, memegang makanan atau tidur di rumah.

Di sejumlah wilayah Nepal dan India, berlaku Tradisi Chhaupadi, di mana perempuan menstruasi diasingkan dan dipaksa tinggal di gubuk atau kandang ternak yang tak layak huni setiap bulannya (UNFPA, 2022). Darah mereka dianggap kotor dan dipercaya bisa menimbulkan malapetaka bagi desa bila tidak disingkirkan sejauh-jauhnya. 

Bukan tanpa risiko, isolasi demikian dapat menimbulkan hal fatal karena membuat perempuan terpapar cuaca ekstrem, serangan binatang, kekerasan seksual, hingga berujung kematian, sebagaimana diwartakan oleh BBC News (2019). Disebutkan bahwa tak hanya perempuan yang tengah menstruasi tersebut, kedua anaknya turut meninggal karena menghirup asap dari api yang dihidupkan untuk menghangatkan tubuh mereka di dalam gubuknya saat musim dingin. Adapun ini hanya salah satu kasus dari sekian yang ada. Meskipun Chhaupadi telah dilarang Mahkamah Agung Nepal sejak 2005, praktik ini masih dilakukan di banyak komunitas (Rai dalam Deutsche Welle, 2022)

Berbagai praktik tabu menstruasi merepresentasikan mengenai bagaimana menstruasi banyak dikonstruksikan sebagai hal negatif, hingga terinternalisasi pada diri para perempuan itu sendiri.

Tabu menstruasi yang menyebabkan tertutupnya pengetahuan tentang tubuh dan siklus menstruasi dapat menempatkan perempuan pada posisi di mana mereka mengalami perasaan negatif seperti rasa malu terhadap fungsi reproduksi tubuh dan rendahnya harga diri (White dalam McHugh, 2020). 

Perempuan mengalami rasa malu ketika mereka gagal memenuhi tuntutan dan harapan yang luas, berlapis, dan kompleks. Coklat dalam McHugh (2020) menggambarkan rasa malu sebagai pengalaman yang sangat menyakitkan karena saat merasa malu, pada saat itu juga seseorang meyakini bahwa dirinya memiliki kekurangan, dan karenanya, tidak layak untuk diterima. 

Rasa malu ini dimaknai sebagai perasaan yang merepresentasikan ketidakmampuan, dan seringkali mengakibatkan perempuan menghindari kontak sosial, membuat merasa terjebak, terisolasi, dan tidak berdaya. 

Dengan kata lain, ketika merasa malu, perempuan seringkali bersembunyi dari orang lain untuk menghindari rasa malu yang lebih besar. Menurut Brown (2007), tantangan terbesar dalam mengembangkan resistensi terhadap rasa malu adalah bagaimana rasa malu sebenarnya membuat seseorang menjadi kurang terbuka baik untuk memberi maupun menerima empati.

Tidak perlu kasus diskriminasi baru untuk mulai menghentikan tabu menstruasi. Membiasakan untuk berbagi cerita mengenai menstruasi bisa menjadi strategi, baik dengan sesama perempuan maupun laki-laki. Buat pembicaraan soal menstruasi menjadi umum dan terbuka, sehingga pengetahuan utuh mengenai tubuh dan menstruasi dapat dimiliki sekaligus memberdayakan perempuan.

Meskipun menstruasi terjadi pada tubuh perempuan, masalah kesehatan menstruasi adalah masalah hak asasi manusia. Artinya, laki-laki perlu dilibatkan dalam diskusi tentang kesetaraan gender dan mempromosikan maskulinitas positif yang bertujuan untuk menghilangkan stigma maupun diskriminasi terkait menstruasi.

 

Sumber:

BBC Nepali. (2019) Nepal woman and children die in banned 'menstruation hut'. BBC News: https://www.bbc.com/news/world-asia-46823289 

Clue. (2016). Top euphemisms for “period” by language. Clue by Biowink GmbH: https://helloclue.com/articles/culture/top-euphemisms-for-period-by-language 

Dewi, A. P. (2023).UNICEF Indonesia: Satu dari tujuh siswi tidak masuk sekolah saat haid. Antara News: https://www.antaranews.com/berita/3562437/unicef-indonesia-satu-dari-tujuh-siswi-tidak-masuk-sekolah-saat-haid 

McHugh, M. C. (2020). Menstrual Shame: Exploring the Role of ‘Menstrual Moaning’. In: Bobel C, Winkler IT, Fahs B, et al., editors. The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies [Internet]. Singapore: Palgrave Macmillan; 2020. Chapter 32. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565666/  doi: 10.1007/978-981-15-0614-7_32 

PBB Kairo. (2021. First menstruation is often accompanied by fear, shame, lack of information, women and girls in Arab states reveal. UNFPA: https://www.unfpa.org/news/first-menstruation-often-accompanied-fear-shame-lack-information-women-and-girls-arab-states 

Rai, D. (2022). Nepal: Why menstrual huts still exist despite being illegal. Deutsche Welle: https://www.dw.com/en/nepal-why-menstrual-huts-still-exist-despite-being-illegal/a-63464074 

UNFPA. (2022). Menstruation and human rights. United Nations Population Fund: https://www.unfpa.org/menstruationfaq#Taboos%20and%20Myths%20about%20menstuations 

Read 5308 times Last modified on Sunday, 08 October 2023 10:07