Print this page

Perempuan dan Kekerasan Atas Nama Agama Featured

Written by  Thursday, 29 December 2022 09:10
Rate this item
(0 votes)

Perempuan adalah pihak yang rentan mengalami kekerasan atas nama agama. Bentuk kekerasan bisa berupa pelecehan, ancaman perkosaan, sampai bentuk perusakan fisik pada saat terjadi serangan. Ada anggapan, 'merusak' perempuan berarti mengalahkan kaum itu sendiri. Pihak atau komunitas yang diserang selanjutnya merasa tidak becus melindungi kaum perempuannya. 

Agama merupakan tuntunan bagi kehidupan manusia di dunia. Tuntunan ini memuat aturan, tata cara pengabdian dan tata laku pergaulan antar sesama. Tata laku pergaulan di dalam kehidupan mendatangkan kebaikan manakala benar-benar berdasar nilai-nilai agama. Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya.Kesalahan dan kemaksiatan mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.

Beberapa waktu lalu, viral konten YouTube dari Zavilda TV. Konten yang diproduksi adalah konten eksperimen sosial dengan memaksa orang lain untuk berhijab dengan alasan toleransi terhadap agama yg dia anut. Stigmatisasi atas nama agama menimbulkan berbagai masalah, terlebih sampai dengan mengganggu privasi dan pilihan orang lain kemudian dipublikasikan.

Judul video yang diproduksi selalu menggunakan diksi "cewek seksi". Video diawali dengan menanyakan apa agamamu, kemudian disambung lagi mencoba menggali alasan kenapa seseorang memilih tidak menggunakan jilbab. Yang paling kontroversial dari konten ini adalah memaksa orang menggunakan jilbab dengan alasan toleransi.Padahal toleransi dilakukan dengan tanpa mengganggu kenyamanan atau pilihan hidup orang lain. Dalam hal ini, Zavilda menjadikan perempuan sebagai objek pasar. 

Pendudukan tubuh perempuan selalu menjadi sasaran empuk bagi pasar. Pendudukan tubuh perempuan tidak semata hadir dari Tuhan atau nasib. Namun, pendudukan tubuh perempuan telah terjadi sejak kepemilikan alat produksi, yang tentu hal ini diciptakan oleh lingkungan.

Dalam produksi video Zavilda Tv, terlepas dari apakah yang ia lakukan settingan (dia akhirnya membuat video klarifikasi pada 30 Agustus lalu), apa yang telah Zavilda lakukan jelas adalah kesalahan fatal yang sayangnya masih banyak dinormalisasi. Musdah Mulia, profesor fikih Islam dalam wawancaranya bersama Magdalene pada 2020 bilang, terlalu banyak orang di masyarakat kita yang menempatkan diri sebagai Tuhan. Banyak Muslim di Indonesia mudah menghakimi dan memosisikan dirinya yang paling benar beragama, sehingga layak menasihati bahkan “memaksa” orang lain untuk sepemaham dengannya.

Seharusnya beragama adalah perjalanan spiritualitas yang bersifat eksklusif. Artinya, ia hadir dalam relasi dua arah antara satu individu dengan Tuhannya, sehingga hanya bisa dilakukan oleh individu terkait. Karena itu, pengetahuan beragama seseorang juga sifatnya unik. Tak bisa disamakan oleh satu dengan lainnya. Zavilda tidak sadar, dengan membuat konten untuk memaksa seseorang untuk mengenakan jilbab dan pakaian tertutup, ia telah mengukuhkan paradigma agama dalam tubuh masyarakat. Bahwasanya agama itu secara esensi tak didasari atas rasa takut. Padahal agama itu ada untuk membawa ketentraman karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemberi. Seharusnya sifat-sifat Tuhan inilah yang ditanamkan terlebih dahulu dalam diri kita, sehingga takkan ada stigma dan prasangka.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin merupakan konsep abstrak yang mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis, dan toleran tanpa paksaan. Sudah seharusnya hadir dengan wajah yang damai dan tidak mengganggu pilihan hidup orang lain.Bukan toleran tapi menggunakan unsur paksaan dan objektivikasi terhadap tubuh perempuan. Tindakan Zavilda termasuk dalam Tindakan kekerasan berbasis gender karena mencoba mengontrol tubuh orang lain dan memaksakan kehendaknya, sekaligus menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.  

Upaya dalam memerangi tindak kekerasan atas nama agama adalah mengedepankan konstitusi. Perlu ketegasan pemerintah harus tetap tunduk pada landasan hukum tertinggi di Indonesia yaitu undang undang Dasar 1945. Pun, sikap tegas dan konsisten dari aparat keamanan dan pemerintah penting adanya. Tidak ada imunitas hukum terhadap pelaku tindak kekerasan.

Read 7532 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:38