Dear Ibu pengasuh Rifka Annisa,
Perkenalkan saya Ibu Marni. Saya punya tetangga yang punya anak perempuan ABG, remaja yang baru masuk SMA. Ayahnya itu tidak suka melihat anaknya pacaran. Tapi cara melarangnya menurut saya keterlaluan juga, anaknya dibentak sampai dipukul, pernah saya lihat sampai dipukul kepalanya pakai sandal gunung. Tapi diperlakukan seperti itu anaknya malah semakin ngelunjak, sering bepergian wira-wiri sama pacarnya. Sebagai tetangga, saya sebaiknya bagaimana ya? Saya juga tidak setuju anaknya pacaran, tapi juga tidak setuju cara ayahnya memperlakukan anak. Cuma untuk menegur saya juga nggak enak karena itu urusan keluarga mereka. Mohon pencerahannya, terimakasih.
JAWAB
Salam Ibu Marni, terimakasih telah berbagi cerita dengan kami. Salah satu tugas perkembangan tahap remaja adalah ada ketertarikan dengan lawan jenis. Sehingga ketika remaja merasakan jatuh cinta, merupakan hal yang normal dan wajar. Hanya saja, mereka butuh bimbingan dan pendampingan tentang bagaimana mengekpresikan perasaan tersebut dalam perilaku yang tidak menimbulkan resiko baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain dan lingkungan sekitar.
Sayangnya tidak semua orang dewasa di sekitarnya termasuk orang tua, dapat menyikapi tahapan tersebut dengan bijaksana. Seringkali orang tua terlalu mencemaskan bahwa jatuh cinta pada lawan jenis bermakna negatif karena selalu dikaitkan dengan perilaku seksual. Hal ini membuat remaja tidak memiliki tempat untuk membahas dan mendiskusikan hal tersebut secara wajar, sehingga belajar mengekspresikan atau menyalurkan hal tersebut melalui apa yang dia konsumsi dari lingkungan sekitar. Misalnya, tontonan film, televisi, perilaku teman sebaya, dan sebagainya, yang kemudian membuat anak terjerumus pada perilaku yang beresiko.
Padahal ada pilihan perilaku yang lain. Misalnya, menjalin hubungan sebatas pertemanan saja, dan dia tetap diterima dan dicintai. Mengungkapkan, dan membuat komitmen yang sifatnya positif, misalnya saling mendukung dalam hal prestasi. Ataupun tidak perlu mengungkapkan sekarang, menunggu saat yang tepat jika sudah dewasa, dan sebagainya. Remaja akan memperoleh alternatif pilihan perilaku yang beragam dan lebih sehat. Terlebih jika ada orang dewasa yang dapat diajak membicarakan situasi tersebut tanpa menghakimi, dia akan mendapat pemenuhan rasa diterima dan dicintai, sehingga tidak mencari pemenuhan kebutuhan tersebut dari orang lain yang bisa jadi malah tidak bertanggung jawab.
Jika Ibu cukup dekat dengan orang tuanya, dapat memberi masukan bahwa cara kekerasan dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak, misalnya ketidakseimbangan antara kemampuan sosial, emosional, dan kognitif, sehingga menimbulkan perilaku bermasalah. Dari reaksi anak yang Ibu ceritakan, anak bukannya takut, tapi malah membenci figur orang tua dan mencari pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang di luar rumah. Strategi yang lain adalah Ibu dapat mencari keluarga atau sahabat dari tetangga tersebut untuk dimintai tolong memberi masukan, atas dasar apa yang Ibu saksikan sehari-hari.
Menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap warga negara yang masih berada di bawah usia 18 tahun adalah anak. Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). Artinya, pelaku kekerasan terhadap anak juga dapat diancam hukuman pidana dan diproses secara hukum. Informasi ini juga perlu diketahui oleh orang tua si anak, agar tidak memposisikan dirinya menjadi pelaku kejahatan terhadap anaknya sendiri.
Selain pendekatan pada orang tua, anak juga membutuhkan pendampingan. Ibu dapat menjadi teman bagi si anak untuk berbagi cerita sehari-hari. Memberi dukungan psikologis yang dia butuhkan, dan terutama memberikan bimbingan dan pendampingan atas pilihan perilakunya dalam menghadapi dinamika masa remaja tersebut. Dukungan dan penerimaan ini sangat dibutuhkan untuk melepaskan ketergantungan psikologis dia pada figur yang kurang tepat, misalnya pacar.
Apabila diperlukan, anak dapat dihubungkan dengan konselor yang lebih ahli. Dapat minta bantuan lebih lanjut pada psikolog atau lembaga layanan konseling terdekat, ataupun lembaga layanan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) milik pemerintah yang terdapat di setiap kabupaten, kota, maupun propinsi.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor telepon Rifka Annisa (0275)553333 atau hotline dinomor 085100431298 atau 085799057765, atau datang langsung ke kantor Rifka Annisa di Jalan Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta. Terimakasih.