Penghapusan Kekerasan terhadap Istri (Ibu)

Written by  Sartika Intaning Pradhani Sabtu, 17 Januari 2015 21:35

Hingga tepat pada hari Ibu 22 Desember 2014 lalu, Rifka Annisa Women Crisis Center telah menerima kasus kekerasan terhadap istri baik melalui tatap muka, kunjungan langsung, surat elektronik, maupun telepon sebanyak 175 kasus kekerasan. Dibalik ucapan-ucapan selamat terhadap para Ibu, ironisnya masih banyak para Ibu yang mengalami kekerasan.

Kasus kekerasan terhadap istri atau yang sering disebut sebagai KTI tidak hanya sebatas pada kekerasan fisik yang kasat mata, tetapi juga kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran. Meskipun selama ini kekerasan fisik lebih menjadi sorotan karena kasat mata, namun ternyata luka fisik tidak dapat berdiri sediri karena erat kaitannya dengan dampak psikologis.

Kekerasan fisik yang terus-menerus dialami oleh seseorang bisa mengakibatkan gangguan-gangguan bukan hanya pada organ fisik, tetapi juga pada kesehatan psikis, seperti perasaan ketakutan yang berlebihan, kehilangan kepercayaan diri, gangguan emosi, sehingga mudah sedih, menangis, marah, dan mengamuk. Selain itu ada juga dampak pada perilaku tidak sehat, misalnya merokok, berselingkuh dan lain sebagainya.

Lazimnya, ketika seorang ibu berperilaku tidak sehat sebagai dampak dari kekerasan yang dialaminya, ia dianggap tidak dapat menjadi figur yang baik dalam keluarga. Orang hanya melihat satu kejadian dimana seorang ibu mengamuk atau melakukan kekerasan di depan anaknya, tetapi kurang dilihat lebih dalam, mengapa seorang ibu sampai berperilaku demikian.

Permasalahan KTI tentu saja bukan semata-mata permasalahan perempuan karena dampak kekerasan bukan hanya dialami oleh istri, tetapi juga oleh anak dan seluruh anggota keluarga. Anak yang melihat ibunya sering mendapat perlakukan kasar akan memiliki kecenderungan perubahan perilaku, seperti membenci figur ayah, gangguan emosi, gangguan konsentrasi belajar, dan lain sebagainya.

Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan seorang anak yang hidup dan berkembang dalam suatu keluarga yang penuh dengan kekerasan. Anak adalah seorang pembelajar yang cepat dan peniru yang cerdas, perilaku yang ia lakukan adalah perilaku yang ia lihat dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika anak besar dalam keluarga yang penuh kekerasan, anak cepat meniru perilaku tersebut dan membawa perilaku tersebut sampai dewasa.

Berangkat dari kesadaran bahwa permasalahan KTI adalah masalah kita bersama, terutama dengan telah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka peringatan terhadap hari ibu ini bukan hanya momen untuk mengingat sifat-sifat kemuliaan ibu, tetapi juga momen untuk menghapuskan kekerasan terhadap ibu secara khusus dan perempuan secara umum. Bahwa pencegahan dan perlindungan terhadap ibu, selaku korban kekerasan bukan hanya menjadi urusan masing-masing rumah tangga, tetapi juga merupakan dari kewajiban dari masyarakat sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. []

 

********************

Penulis adalah relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

Read 1745 times Last modified on Sabtu, 04 Juli 2015 08:09
43889086
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8248
42106
229783
221312
43889086