Print this page

Diskusi tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender

Written by  Selasa, 08 Juli 2014 11:12
Rate this item
(0 votes)

Oleh: Ani Rufaida
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

(3/7/14) Unit Kegiatan Mahasiswa Vokasi Universitas Gadjah Mada (UKM Vokasi UGM) melakukan diskusi bersama Rifka Annisa tentang kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Acara ini merupakan diskusi rutin yang digelar oleh UKM Vokasi UGM setiap bulannya dengan tema yang beragam. “Peserta juga beragam dari berbagai organisasi maupun komunitas diskusi baik laki-laki maupun perempuan” ungkap Tika selaku ketua panitia.

Acara dipandu oleh Fitri selaku fasilitator dari Rifka Annisa. Saat diskusi, Fitri menanyakan hal-hal apa saja yang mengesankan sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan? Peserta menjawabnya dengan beragam kesan seperti mandiri, kuat, tegas, perhatian dan berkasih sayang. Fitri juga mengajak peserta untuk mendiskusikan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. “Apa yang terlintas ketika mendengar kata laki-laki?” tanya Fitri. “Tegas, pemberani, kuat, hebat, jakun, penis”, Jawab Peserta. “Apa yang terlintas ketika mendengar kata perempuan”? tanya Fitri lebih lanjut. “Hamil, menyusui, nifas, melahirkan, hamil, ovum, cerewet, penyayang,” jawab peserta.

Ketika ditanya apakah laki-laki ada yang penyayang dan cerewet. Serentak peserta menjawab “ada”. Demikian juga ketika ditanya perempuan apakah ada yang tegas, pemberani, dan kuat. Peserta menjawab ada. Lalu apa yang membedakan antara perempuan dan laki-laki? Ungkap Fitri.

Fitri menjelaskan bahwa laki-laki memilki jenis kelamin secara biologis seperti penis, jakun, testosteron, kumis,dll, demikan juga perempuan memilki vagina, payudara, ovum, melahirkan, dll. “Hal ini yang biasa kita sebut seks. Seks tidak dapat dipengaruhi ruang dan waktu, bersifat kodrati, tidak dapat dipetukarkan dan bersifat tekstual. Berbeda dengan pernyataan peserta seperti penyayang, kuat, hebat dan pemberani yang sebenarnya sifat-sifat ini bisa melekat ke semua jenis kelamin. Hal ini yang kita sebut gender. Gender jelas bisa dipertukarkan, bersifat kontekstual dan konstruksi, dipengaruhi ruang dan waktu”, ungkap Fitri.

“Sangat jelas bahwa laki-laki baik yang ada di Jawa, Papua, Negeria, Austria memilki penis, dan bentuk jenis kelamin biologisnya tak ada yang berubah. Demikian juga perempuan. Sehingga seks jelas berbeda dengan gender”, jelas Fitri.

Hal tersebut merupakan konstruksi social, yang mengarahkan bagaimana pasangan laki-laki harus berprilaku, berpakaian dan berpenampilan serta sikap dan kualitas apa yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki  seperti tegas, rasional, pantang menyerah, pemimpin, dominan, superior, agresif, kuat, macho, dsb, adalah diantara kualitas maskulin dan secara social menjadi ukuran kelaki-lakian. Demikian perempuan dikonstruksikan untuk memenuhi kualitas feminin, seperti harus lemah, emosianal, keibuan dan lain-lain. Hal ini  berdampak pada peran-peran social yang menempatkan pasangan laki-laki pada ruang public, pasangan perempuan pada ruang domestic.  

Cara pandang ini yang menjadikan citra tunggal kelaki-lakian sebagai norma dihadapan masyarakat, padahal berdampak tidak baik bagi laki-laki sendiri, banyak pasangan yang kemudian merasa tidak laki-laki karena tidak memenuhi kualitas-kualitas tersebut. Demikian perempuan ketika macho, pemberani, suaranya besar, dianggap seperti laki-laki. Hal ini sebenaranya tidak menjadi masalah, yang menjadi persoalan ketika muncul ketidakadilan dalam relasi tersebut.

Ketidakadilan itu bisa terjadi karena berbagai hal diantaranya pertama pelabelan (streotype), jika ada perempuan yang keluar malam identik dengan perempuan nakal, kedua penomorduaaan (subordinasi), selama ini ketika di keluarga anak laki-laki cenderung didahulukan kepentingan pendidikannya dari pada perempuan, ketiga (beban ganda) banyak perempuan yang sudah bekerja namun tetap melakukan pekerjaan rumah tangga karena hal itu dianggap sebagai kewajiban. Keempat peminggiran ekonomi (marginalisasi ekonomi) perbedaan upah yang diberikan kepada perempuan meskipun sebenarnya waktu dan jam kerjanya sama dengan laki-laki, bahkan waktunya lebih banyak perempuan namun upah yag diberikan lebih sedikit. Ketidakadilan inilah yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Jelas Fitri.

Diskusi berlangsung menarik dan meriah karena peserta seperti merefleksikan diri mereka sendiri sebegai laki-laki maupun sebagai perempuan. Selain itu mereka juga sharing tentang pengalaman keluarga dan relasi berpacaran.

Read 1245 times Last modified on Selasa, 08 Juli 2014 11:38