Mengenalkan anak pada nilai tertentu pada gilirannya dapat mendefinisikan kembali pola perilaku generasi anak dan generasi berikutnya, selaras dengan nilai-nilai yang ditanamkan.
Tidak terkecuali mengenai nilai-nilai adil gender. Nilai adil gender yang ditanamkan pada anak mampu mendorong terwujudnya relasi setara di berbagai konteks.
Ini 5 hal yang bisa dilakukan orang tua untuk menginternalisasi nilai-nilai adil gender pada anak:
- Beri anak ruang untuk merasakan semua emosi
Semua manusia punya perasaan. Biarkan anak merasakan semua emosi, sedih maupun senang.
Ini akan membantu anak untuk mampu mengekspresikan perasaannya dengan efektif dan komunikatif.
Anak laki-laki perlu mengenal berbagai emosi, termasuk sedih, haru, cemas, khawatir, untuk bisa mengomunikasikan perasaannya tanpa kekerasan. Juga, tanpa ragu dan malu, bisa meminta bantuan saat membutuhkan—tidak tertuntut untuk selalu tampak kuat dan bisa melakukan apapun sendirian.
Realitasnya, pengajaran mengenai emosi ini berimplikasi pada kepekaan anak laki-laki pada kesehatan mentalnya sendiri. Psikolog Jill Harkavy-Friedman, Wakil Presiden Divisi Penelitian American Foundation for Suicide Prevention memaparkan, laki-laki lebih jarang mencari bantuan kesehatan mental bukan berarti laki-laki tidak punya masalah yang sama dengan perempuan. Melainkan, laki-laki biasanya lebih jarang mengetahui kondisi kesehatan mentalnya, termasuk soal resiko bunuh diri (Schumacher, 2019).
Di samping itu, juga penting bagi anak perempuan untuk mampu bersikap tegas dan berani mengambil keputusan secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada pada orang lain.
Oleh karenanya, keterampilan bersifat feminin maupun maskulin perlu diasah baik pada anak laki-laki maupun perempuan melalui pengenalan pada berbagai emosi.
- Be a role model!
Tunjukkan ke anak bahwa semua orang bisa dan perlu ambil peran dalam pekerjaan rumah tangga. Ayah bisa masak. Ibu bisa pasang galon. Lebih lanjut, libatkan anak juga dalam pembagian peran di rumah.
Anak bisa belajar soal kesetaraan dari orang terdekatnya, bahwa suatu pekerjaan bukan menjadi tanggung jawab seseorang dengan gender tertentu saja. Sehingga, kelak anak bisa menerapkan hal ini di luar rumah—menerapkan sistem yang lebih berkeadilan bagi semua orang yang terlibat.
Pasalnya, kesetaraan dimulai dari rumah. Tidak akan ada kesetaraan di tempat kerja atau ruang publik lainnya, jika tidak ada kesetaraan di ruang domestik.
- Beri anak ruang untuk memainkan permainan yang dia mau, apapun itu!
Semua permainan dasarnya bisa mengembangkan kemampuan anak. Peran bermain adalah untuk memperkenalkan sebanyak mungkin pengalaman pada anak.
Main boneka menstimulasi empati. Main mobil-mobilan bisa mengembamgkan kemampuan spasial. Memberi ruang bermain seluas-luasnya pada anak dapat mendukung anak untuk menjadi dirinya sendiri.
Sebaliknya, membatasi permainan anak berdasarkan jenis kelaminnya pada satu titik dapat membatasi pandangan dan peluang anak di antaranya dalam eksplorasi bidang karir berdasarkan stereotip gender yang berkembang.
Penelitian Washington dan Lee University, Amerika Serikat menegaskan, pembedaan permainan anak perempuan yang feminin dan permainan anak laki-laki yang maskulin dapat memengaruhi pandangan anak terhadap diri mereka sendiri (Vanessa Barford, 2014).
Profesor bidang pendidikan Universitas Roehampton, Becky Francis, menemukan bahwa anak laki-laki yang dilekatkan dengan warna biru sebagai warna maskulinitas, lebih sering diberi mainan yang melibatkan aksi (atau petualangan), kontruksi, dan berbau mesin, yang lebih memuat informasi diktatif dengan instruksi teknis.
Sementara perempuan dilekatkan dengan warna pink yang mencerminkan feminitas, diarahkan untuk bermain boneka atau menata rambut yang cenderung berada cenderung di area imajinatif dan kreatif.
Laporan The Guardian “Are Gendered Toys Harming Childhood Development?” secara lebih spesifik mengemukakan bahwa yang menyebabkan stereotip gender pada mainan anak bukan terletak pada jenis warna atau pun mainannya.
Melainkan, minimnya pemahaman orang tua akan isu ini, sehingga orang tua turut melekatkan stereotip tersebut dengan melekatkan gender anaknya pada jenis mainan tertentu (Olga Oksman, 2016).
- Dampingi anak dalam memahami dan menghargai tubuh mereka sendiri
Cepat atau lambat, anak akan mengeksplorasi tubuhnya. Ajarkan anak supaya dia bangga dan sayang dengan dirinya sendiri.
Saat anak memaknai tubuhnya sebagai hal berharga, anak akan merasa lebih nyaman menjalani kesehariannya, termasuk dalam menjalin relasi-relasi sosial yang ia jalani. Dengan kepercayaan dirinya, anak juga lebih leluasa dalam menggali potensi diri.
Selain itu, anak dapat terdorong untuk senantiasa menjaga tubuhnya dari kemungkinan kekerasan, mulai dari dengan cara memahami hak tubuhnya, mendapatkan fasilitas yang layak dan aksesibel dalam merawat kesehatan tubuhnya, hingga mengetahui langkah yang bisa ditempuh saat terjadi pelecehan seksual.
- Tunjukkan ke anak soal keberagaman
Bahwa perbedaan adalah hal normal dan harus dihormati. Ajari anak untuk tidak menggeneralisasi standar atau pengalamannya sendiri pada orang lain.
Penting bagi anak untuk mengetahui dan memahami bahwa di luar dirinya, ada individu lain yang mungkin tampak sangat berbeda dari dirinya, tetapi sama berharganya, terlepas dari identitas gendernya.
Sumber:
Olga Oksman. (2016). Are gendered toys harming childhood development? The Guardian. Diakses dari: https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2016/may/28/toys-kids-girls-boyschildhood-development-gender-research
Sanchez, G. R. (2018). How to educate children for gender equality. Believe Earth. Diakses dari https://believe.earth/en/how-to-educate-children-for-gender-equality/
Schumacher, H. (2019). Kenapa lebih banyak laki-laki meninggal karena bunuh diri? BBC News Indonesia. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-47862671
Vanessa Barford. (2014). Do children's toys influence their career choices? BBC News. Diakses dari: https://www.bbc.com/news/magazine-25857895